KUPANG-NTT, Sabtu (27/01/2018) suaraindonesia-news.com – Suatu negara yang dianggap demokratis adalah Negara yang menghargai hak-hak politik dari seluruh masyarakatnya sebagai sebuah kebenaran hakikih dalam setiap hajatan Pemilihan Umum (pemilu) baik Pemilu Legislatif, Kepala Daerah maupun Presiden. Namun dalam prakteknya di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Proses demokrasi masih disuguhi dengan pragmatisme politik atau politik transaksional (politik uang) serta politik identitas.
Antropolog ternama NTT, Pater Gregorus Neonbasu, SVD, Ph.D saat ditemui suaraindonesia-News.com diuang kerjanya jumat (26/01) mengatakan bahwa, pemberlakuan multi partai politik di negara Indonesia saat ini tidak sepenuhnya menyentuh esensi demokrasi dan pendidikan politik yang baik dan benar bagi masyarakat Indonesia.
Menurut Neonbasu, pemberlakuan multi partai politik dalam prlaksanaan hajatan demokrasi di Negara Indonesia khususnya di NTT hanya melahirkan pragmatisme politik dan pendidikan politik yang salah bagi masyarakat tanpa memperhatikan ideologi dan kaderisasi partai politik yang sebenarnya.
“Multi partai politik dinegara mana saja termasuk di Indonesia tidak akan bertahan dan kacau balau karena tidak akan pernah menciptakan kecerdasan politik namun beralih kepada pragmatisme politik bukan berdasarkan ideologi dan pencerdasan politik yang benar bagi masyarakat,” Tandasnya.
Baca Juga: Polres Aceh Utara Musnahkan Senpi dan GLM Hasil Sitaan
“Dari aspek tertentu masyarakat NTT sudah pintar berpolitik tapi saya masih sangsi dengan praktek politik uang secara liar yang datang dari para politisi. Kita harapkan politisi datang kepada masyarakat dengan otak dan hatinya namun yang terjadi adalah mereka datang dengan modal uang sehingga cara politik tersebut tidak elegan, tidak prospektif dan tidak melatih masyarakat dengan pendidikan politik yang benar. Politik Uang (money politik) merusak alam demokrasi di NTT,” Ujarnya.
Lebih lanjut Ketua YAPENKAR Universitas Katolik (Unika) Widya Mandira Kupang ini menegaskan bahwa, dalam pendasaran perspektif antropologi politik, Pragmatisme tidak dibenarkan namun dalam politik praktis Pragmatisme sangat diterima.
“Kalau ditinjau dari segi perspektif antropologi politik, pragmatisme tidak laku tapi dalam politik praktis pragmatisme sangat laku. Ada 3 hal penting dalam perspektif antropologi politik yakni, modal politik, modal sosial dan modal uang. Dengan modal uang seorang politisi bisa menggenjot modal politik dan modal sosialnya namun modal uang bisa jadi bumerang bagi politisi bila etika dan tatakrama yang dilakukan oleh politisi berlawanan dengan pola budaya dan pola tradisi tertentu,” jelasnya.
Peneliti dan penulis Antropologi budaya kawakan asaln NTT ini menandaskan bahwa ada dua hal yang simpang siur dalam pilgub NTT kali ini yakni Kaderisasi dan simpatisan, dengan modal uang partai politik tidak lagi mengutamakan kader dan ideologi partainya namun partai politik akan mengatakan bahwa simpatisan memilki modal politik dan modal sosial untuk di rekomendasikan.
“Dalam pilgub ntt kali ini ada dua hal yang kocar kacir yakni Kaderisasi dan simpatisan. Saya tidak mau menuduh partai atau koalisi mana namun pengaruh uang yang mendominasi menyebabkan Partai tidak memilih kadarnya sendiri dan lebih mengutamakan simpatisan namun nanti dalam Penjabaranny partai akan mengatakan bahwa ini modal politik yang kami dimiliki dan layak untuk direkomendasikan,” ujarnya.
“Ada partai politik yang yang karena pengaruh uang, mereka melupakan ideologi dan kadernya sendiri. Kalau ideologi dan Kaderisasi tidak diperhatikan oleh partai maka proses demokrasi di NTT akan kocar kacir. Situasi ini akan mengarahkan masyarakat ntt untuk lebih melihat orang gang punya uang (duit) ketimbang figur yang baik dan prospektif,” pungkasnya.
Reporter : Yoko
Editor : Amin
Publisher : Tolak Imam