SUMATERA UTARA, Jumat (14/04/2023)
suaraindonesia-news.com – Meningkatnya tindak pidana kejahatan berat yang tidak bisa lagi diterima oleh akal sehat manusia terutama yang dilakukan anak di Indonesia, dan perubahan perilaku anak membuat pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) melakukan revisi terhadap UU RI Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistim Peradilan Tindak Pidana Anak (SPPA).
Hal tersebut disampaikan Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait. Menurutnya, dengan meningkatnya jumlah anak sebagai saksi, pelaku maupun korban tindak pidana di Indonesia tidak ada lagi alasan untuk mengabaikannya, tentu hal ini adalah kewajiban pemerintah terhadap hak konstitusi anak untuk mendapatkan perlindungan dari negara.
“Berbagai kasus kejahatan serius dan berat telah terjadi di Indonesia, lihat saja seperti kasus pembunuhan anak laki-laki usia 11 tahun di Makasar dengan cara mutilasi lalu diambil sebagian organ tubuhnya untuk dijual melalui media sosial yang dilakukan dua orang pelaku satu diantaranya berusia anak (l4),” sebut Arist Merdeka Sirait.
Arist juga menambahkan, kasus kejahatan seksual disertai dengan pembunuhan terhadap anak balita usia 3 tahun yang dilakukan anak berusia 17 tahun di desa Paya Gambar, Kecamatan Batang Kuis di Kabupaten Deli Serdang dan untuk menghilangkan jejak kemudian jasadnya dibuang di tepi sawah pas belakang rumah, pelaku sudah dijatuhkan vonis atas perbuatannya 10 tahun pidana penjara oleh PN Medan.
“Seperti juga yang terjadi Kasus tindak pidana kejahatan sadis yang dilakukan 3 orang anak usia 14 tahun terjadi di Sukabumi, 3 orang anak usia ini membacok temannya dengan senjaya tajam clurit dengan cara membacok dan kejadian pembacokan disiarkan secara langsung melalui media sosial,” ujarnya, mencontohkan.
“Kasus kekerasan fisik secara bersama yang dilakukan lebih dari 6 orang murid SMP di Tapanuli Selatan dengan cara memukul dan menendang seorang ibu lansia berkebutuhan khusus. Korban ditendang sampai terjungkal, lalu ditertawai dan dicemooh,” beber Ketum Komnas PA.
Pertanyaan mendasarnya apakah ini merupakan kejahatan sadis dan berat atau tindak pidana ringan dan atau sekedar kenakalan anak.
Masih kasus sadis dan mengerikan dimana ada fakta 3 orang anak usia dibawah 12 tahun melakukan kejahatan seksual terhadap anak perempuan usia 7 tahun di Jawa Barat dengan cara sodomi dimana disandarkan di belakang tembok salah datu rumah untuk dilakukan penetrasi dan sengaja direkam melalui handphon (HP) oleh teman pelaku dan diviralkan.
Inikah yang disebut kenakalan atau kejahatan. Definisi ini tidak jelas mengakibatkan ketidak adilan bagi korban.
Demikian juga peristiwa kejahatan seksual terhadap seorang anak remaja usia 16 di salah satu kecamatan di Tapanuli Utara yang dilakukan 10 orang pelaku 7 diantaranya usia ana dibawah 14 tahun melakukan pemaksaan seksual secara bergantian berulang selama 3 bulan uang mengakibatkan korban trauma dan putus sekolah.
Ada peristiwa kejahatan seksual luar biasa yang dilakukan 3 orang anak berusia di bawah 13 tahun di Kelurahan Kodja di Jakarta Utara melakukan kejahatan seksual, korbannya anak perempuan siswi kelas satu SMP usia 13 tahun menjadi kekerasan seksual ketiga orang pelaku anak.
“Nah, kasus vonis 3 tahun 6 bulan oleh PN Jakarta Selatan untuk kasus AG usia 15 tahun atas kasus kekerasan fisik yang dilakukan Mario Dandy dan seorang temannya dimana oleh hakim tunggal yang mengadili perkara kekerasan memutuskan dalam putusannya AG dinyatakan bersalah ikut serta merencanakan dan membiarkan terjadinya kekerasan yang dilakukan Mario Dandy tanpa menghentikan, sekalipun sudah melihat kekerasan tanpa melarang menghentikan sekalipun korban tidak dapat bersuara lagi alias ngorok karena kesakitan,” sebut aktivis yang punya ciri khas berewok ini.
Atas fakta itu, akhirnya memutuskan AG dihukum 3 tahun 6 bulan dan ditempatkan di Rumah Perlindungan Kesejahteraan Sosial anak untuk mendapat pembinaan.
Atas vonis AG ini momentum pemerintah atas dukungan DPR dan masyarakat untuk melakukan Revisi terhadap UU RI Nomor : 11 Tahun.2012 tentang Sistim Pradilan Tindak Pidana Anak untuk membedakan mana yang dimaksud dengan kenakalan anak, tindak pidana ringan (Tipiring), mana yang masuk kategori kejahatan berat dan mana yang bisa dilakukan diversi dan keadilan restorasi dan pemberian restitusi atau ganti rugi bagi korban.
Atas kasus ini sesungguhnya korban David Ozora (16) berhak mendapat hak restritutip karena sudah lima puluh hari lebih dirawat di rumah sakit Mamaya Pada Jakarta sudah menelan biaya 1.5 miliar.
Sebelumnya Arist Merdeka Sirait Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak dalam podcast yang diselenggarakan Tim media Komnas Perlindungan Anak Kabupaten Deli Serdang dengan menghadirkan pakar Pendidikan Keluarga Leila dengan moderator Ketua KOMNAS Perlindungan Anak Deli Serdang Junedi Malik di Rumah Kopi Biji kopi asli.
Gagasan oleh salah seorang aktivis dan pakar pidana tentang tanggung renteng pidana yang dibebankan kepada orangtua anak untuk menjalankan tindak pidana yang dilakukan anaknya ini merupakan solusi yang harus ditolak.
Jika ini dianggap sebagai solusi dalam perkara tindak pidana anak, dengan demikian akan semakin banyaklah anak melakukan kejahatan yang lebih sadis lagi karena anak menganggap bahwa yang akan menanggung hukuman dari tindak pidana yang dilakukannya orangtuanya yang menanggung dan menjalaninya.
Gagasan yang dianggap sebagai solusi untuk melindungi anak harus ditolak, karena gagasan ini keliru dan di Indonesia tidak dikenal tanggung renteng pidana.
Oleh karenanya lanjut Arist untuk memastikan aksi cepat Revisi UU RI tentang SPPA Tim Investigasi dan Advokasi untuk Pemulihan Sosial anak segera bertemu dengan Kemenkumham, Kementerian PPPA dan Komisi Hukum DPR RI Komisi 3, untuk menyampaikan data kenakalan anak dan anak yang menjadi pelaku tindak pidana ringan dan kejahatan berat dan sadis untuk dijadikan dasar Revisi SPPA tersebut.
Reporter: M. Habil Syah
Editor: Wakid Maulana
Publisher: Nurul Anam