SUMENEP, Jumat (23/08) suaraindonesia-news.com – Kasus sengketa tanah di Desa Guluk Manjung, Kecamatan Bluto, Sumenep, Jawa Timur, yang melibatkan Abdul Wasik Baidhowi sebagai terlapor, kembali menarik perhatian.
Dugaan adanya ketidakberesan dalam penanganan kasus oleh Polres Sumenep kian menguat, dengan lambatnya proses hukum yang berjalan. Namun, pihak kepolisian menegaskan bahwa kasus ini memiliki kompleksitas tersendiri.
Kuasa hukum Iftitah sebagai anak korban, Nadianto, yang mewakili korban H. Fathor Rasyid, mengungkapkan kekecewaannya atas tidak adanya perkembangan signifikan sejak laporan yang diajukan pada 15 September 2022, dengan nomor laporan LP/B/IX/2022/Polres Sumenep/Polda Jawa Timur.
“Walaupun saksi-saksi sudah diperiksa dan bukti-bukti telah diserahkan, hingga kini belum ada kejelasan terkait status kasus ini,” ujar Nadianto, kuasa hukum Iftitah, Jumat (23/8).
Lahan seluas setengah hektare yang menjadi sumber sengketa terletak di perbatasan Kecamatan Bluto dan Pragaan.
Meski lahan tersebut sudah dinyatakan sah milik H. Fathor Rasyid oleh Pengadilan Negeri Sumenep dan diperkuat oleh putusan Pengadilan Tinggi Surabaya, Abdul Wasik Baidhowi tetap mendirikan bangunan di atasnya.
“Hasil putusan Pengadilan Negeri Sumenep dengan nomor 8/PDT/2023/PN.SMP dan diperkuat oleh putusan banding Pengadilan Tinggi Surabaya nomor 391/PDT/2024/PT.SBY, menegaskan bahwa tanah itu secara sah milik H. Fathor Rasyid,” jelasnya.
Nadianto menyatakan bahwa ada dugaan penyalahgunaan kekuasaan dan kemungkinan adanya kongkalikong antara pihak kepolisian dengan tersangka, yang merupakan tokoh masyarakat berpengaruh di Kabupaten Sumenep.
“Para tersangka yang seharusnya sudah dipanggil dan ditahan, masih bebas berkeliaran,” ungkapnya.
Namun, di sisi lain, Kasubbag Humas Polres Sumenep, AKP Widiarti S, menyatakan bahwa kasus ini bukanlah kasus biasa dan memerlukan waktu panjang untuk penyelesaiannya.
“Proses hukum bisa memakan waktu bertahun-tahun,” ujarnya saat dikonfirmasi oleh wartawan.
Widiarti juga menekankan bahwa setiap pelapor berhak mendapatkan SP2HP (Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan) yang memberikan informasi terkait perkembangan kasus.
Sementara itu, M. Dahnan, saudara dari Abdul Wasik Baidhowi, turut angkat bicara. Ia mengingatkan adiknya untuk tidak bertindak sewenang-wenang dengan mendirikan bangunan di atas tanah yang bukan miliknya.
“Saya sudah memperingatkan Wasik, tapi dihiraukan. Bahkan, saya malah difitnah,” kata Dahnan.
Menurutnya, kasus ini mencerminkan bagaimana perbedaan pandangan antara pihak yang bersengketa dan aparat penegak hukum bisa memicu dugaan ketidakadilan.
“Apakah ini memang contoh nyata dari praktik hukum yang tidak sehat, ataukah ini sekadar proses hukum yang memakan waktu panjang? Masyarakat kini menunggu jawaban dari aparat penegak hukum,” tutupnya.