ACEH TIMUR, Sabtu (26/03/2022) suaraindonesia-news.com – Ketua Lembaga Kajian Strategis dan Kebijakan Publik (Lemkaspa) Aceh Timur, Sanusi Madli mengharapkan penyelesaian berbagai persoalan pada pertambangan minyak tradisional di kawasan Rantau Peureulak, Aceh Timur dapat diselesaikan secara bijak dan berkeadilan.
“Secara hukum, pertambangan rakyat tersebut memang illegal, namun secara kemanusiaan, ada ribuan masyarakat yang menggantungkan harapan hidupnya di sumur minyak tersebut, karena itu kita berharap, pendekatan yang dilakukan bukan hanya pendekatan hukum,” ujar Sanusi, kepada media ini Sabtu (26/3).
Menurutnya di satu sisi hukum harus ditegakkan, yang illegal harus diberantas dan ditutup, namun bila hanya pendekatan hukum, maka masyarakat yang terlibat berpeluang bermasalah dengan hukum, sementara mereka sedang berusaha mencari rizki untuk menghidupi keluarganya, lapangan kerja yang lain pun masih sulit ditemukan.
“Agaknya pekerjaan ini dilakukan karena tidak ada pekerjaan alternatif lainnya yang didapatkan oleh masyarakat, masyarakat paham dengan resiko yang dihadapi, bahkan ada yang berujar, lebih baik mati terbakar dari pada mati kelaparan, ini kan sangat memprihatinkan, karena itu solusi alternatif perlu disiapkan, jika memang harus ditutup,” cetus nya.
Oleh karena itu kata Sanusi Madli, persoalan ini perlu dicari solusi secara bijak, kehadiran regulasi yang berkeadilan dan memihak kepada rakyat menjadi urgens, agar masyarakat tetap dapat bekerja dengan aman, nyaman, serta tidak melanggar aturan, dan yang terpenting adalah menyelamatkan masyarakat dari pengangguran dan kemiskinan.
Menutup pertambangan tersebut juga bukan langkah yang bijak, membiarkan pertambangan yang mengancam jiwa manusia untuk terus beraktifitas tanpa pengawasan dan bimbingan dari pihak yang berkompeten itu juga bukan pilihan yang tepat, oleh karena itu, kehadiran pertamina sebagai pemilik kawasan saat ini perlu dilakukan, agar masyarakat terlindungi dan kebutuhan mereka terpenuhi.
“Kami rasa, untuk saat ini, sembari menunggu regulasi, dan dikembalikan kawasan tersebut kepada BPMA sebagaimana amanat PP Nomor 23 tahun 2015, pertamina sebagai pemilik kawasan perlu hadir melakukan pendampingan serta langkah lainnya agar pertambangan tersebut dapat berjalan dengan aman dan sesuai prosedur,” kata Sanusi.
“Seharusnya urusan regulasi sudah selesai, apalagi kasus ledakan yang menimbulkan korban jiwa bukan kali ini saja terjadi, sebelumnya juga sudah pernah terjadi,” ungkapnya.
Ia berharap, koordinasi dan kerja kolaborasi lintas sektor perlu terus dilakukan, terutama BPMA, SKK Migas, Kementrian ESDM, mengingat kawasan pertambangan tersebut masih dalam Pengawasan Pemerintah Pusat.
“Semoga dapat segera lahir solusi bijak yang tidak menimbulkan masalah baru, seperti pengangguran baru, kemiskinan hingga menimbulkan masalah sosial baru, kami sangat yakin, para punggawa BPMA, SKK Migas, Kementrian dan para pihak lainnya adalah orang orang hebat,” tutup Mantan Ketua DPM USK Ini.
Reporter : Masri
Editor : Redaksi
Publisher : Syaiful