BELOPA, Kamis (28/11) suaraindonesia-news.com – Pengadilan Negeri (PN) Belopa, Kabupaten Luwu, Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) gelar sidang putusan praperadilan terkait dugaan kasus penganiayaan yang melibatkan Abdul Gani (AG) alias Peppeng sebagai pemohon. Dalam putusannya, Hakim Tunggal Imam Setyawan, S.H., menolak seluruh gugatan pihak pemohon.
Imam Setyawan mengatakan proses penyidikan oleh aparat penegak hukum telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Kata dia, kewajiban pemeriksaan calon tersangka sebelum penetapan status tersangka, sebagaimana diatur dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK), tidak bersifat mutlak untuk semua kasus.
Penetapan tersangka terhadap AG disebut telah didukung oleh dua alat bukti sah, yakni keterangan tiga saksi dan barang bukti berupa kunci sepeda motor.
Namun, keputusan ini menuai kritik dari kuasa hukum AG, Rudi Sinaba. Ia menilai hakim mengabaikan putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 yang menurutnya mensyaratkan pemeriksaan calon tersangka sebelum penetapan status tersangka.
“Hakim seharusnya mematuhi putusan MK yang menyatakan bahwa pemeriksaan calon tersangka wajib dilakukan sebelum penetapan status tersangka,” kata Rudi saat dikonfirmasi Kamis, (28/11)
Ia juga menilai proses pembuktian dalam sidang praperadilan tidak menyeluruh.
Hakim terlalu mengandalkan keterangan dari pihak tergugat tanpa mempertimbangkan bukti dan argumen dari pihak pemohon.
Rudi turut mengkritik aspek pembuktian yang ia anggap cacat hukum.
“Fakta hukum yang hanya didasarkan pada keterangan satu orang saksi, yakni Basri, jelas melanggar asas unus testis nullus testis (satu saksi bukanlah saksi),” katanya
Ia juga menyoroti inkonsistensi kronologi pengaduan dan kejadian, laporan pengaduan Nasri dibuat pukul 07.30 pagi hari tanggal 23 September 2024 lalu, tetapi saksi Basri menyebut ada pengamanan terhadap Gani pukul 09.00 pagi, Hal itu harus diartikan sebagai penangkapan.
Rudi mengungkapkan kejanggalan dalam dokumen penyidikan. Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) dan Surat Penetapan Tersangka diterbitkan pada tanggal yang sama, yakni 23 September 2024.
Sementara itu, Surat Perintah Penahanan diterbitkan sehari setelahnya, 24 September 2024.
“Prosedur ini tidak sesuai, mengingat insiden perkelahian yang menjadi dasar kasus ini terjadi pada 23 September 2024,” jelasnya.
Menurutnya, insiden itu lebih tepat dipandang sebagai perkelahian, bukan penganiayaan sepihak.
“Proses yang dilakukan tergugat membingungkan masyarakat karena tidak memberikan kepastian hukum,” tambah Rudi.
Sebagai perbandingan, ia menyebut beberapa kasus lain, seperti Pegi Setiawan dan Sabhirin Noor, di mana hakim praperadilan memutuskan pemeriksaan calon tersangka wajib dilakukan sesuai putusan MK.
Rudi menyatakan pihaknya akan menyurati Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk meminta kejelasan hukum.
“Kami ingin agar ada kepastian hukum terkait wajib atau tidaknya pemeriksaan calon tersangka. Hal ini penting bukan hanya untuk kasus Abdul Gani, tetapi juga untuk kasus serupa di masa mendatang,” tegasnya.
Sementara itu, kasus dugaan penganiayaan yang melibatkan AG akan dilanjutkan ke persidangan peradilan umum untuk memeriksa materi perkara secara lebih mendalam.