Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Berita UtamaHukumRegional

Sekti Jember Minta Dahulukan Penanganan Covid-19 Daripada UU Omnibus Law

Avatar of admin
×

Sekti Jember Minta Dahulukan Penanganan Covid-19 Daripada UU Omnibus Law

Sebarkan artikel ini
IMG 20200420 123749

JEMBER, Senin (20/4/2020) suaraindonesia-news.com – “Mentri ATR/BPN RI, Pak Sofyan Djalil yang baik, terima kasih atas responnya”. Itu secuil kalimat dalam surat terbuka yang dikirimkan oleh Serikat Tani Independen (Sekti) Jember.

Menurut Ketua Sekti Jember, M Juma’in, pihaknya sudah mengetahui apa isi Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Meski tebal tak kepalang, kata Juma’in, sudah membaca halaman-halaman mengerikan itu.

“Kami petani, masyarakat adat, buruh, pemuda-pemudi di desa dan kota, aktivis, warga biasa, tapi bukan berarti kami tak punya ilmu, dan tidak punya pemikir dengan kompetensi ilmu yang mumpuni,” katanya saat tanyai wartawan.

Dikatakannya, para petani sudah selama 5, 10, 20 hingga 40 tahun lebih sudah mengalami konflik agraria. Jadi dirinya bersama ratusan petani lainnya paham rasanya.

“Kami tidak mau diperparah oleh RUU ini. Seperti halnya Bapak, kami juga sedikit banyak paham UU. Karena pendidikan ala rakyat mencerdaskan kami,” begitu kata pria berkaca mata, dalam tulisannya.

Jika dibilang soal Tenaga Kerja Indonesia (TKI), dia mewakili para perani menuliskan kalau memberitahukan kepada Sofyan Djalil, mengapa banyak pemuda dan pemudi menjadi TKI di kebun-kebun sawit, menjadi PRT di luar negeri, atau bahkan yang menjadi penjual narkoba, seperti kata Bapak? Itu karena tanah-tanah di desa, hutan-hutannya telah Bapak berikan hak atas tanahnya kepada perusahaan dan konglomerat. Karena banyak sawah dan ladang, telah Bapak biarkan dikonversi, dari desa, dari kampung yang sudah berdiri bangunan sekolah dan mesjidnya karena alasan pembangunan. Demi pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur.

Menurut Jumai’n, RUU ini bisa jadi akan membuka lapangan kerja baru, karena mang begitulah cara pengadaan tanah dan pembebasan lahan bekerja selama ini. Lembaga Bapak bersama pemerintah daerah, dan pemegang proyek mengiming-imingi petani, orang-orang desa yang kampungnya dan lahannya hendak digusur, orang-orang kota yang tempat tinggalnya mau diratakan, dengan sebuah pelipur lara dijanjikan lapangan kerja dengan upah rendah untuk para pengusaha kakap, yang meminta tanah kepada Bapak.

Baca Juga :  Jelang Tahun Baru 2017 Satlantas Polres Sumenep Perketat Penjagaan Jalan Raya

“Jika kami tak mau melepas tanah, kami ditakuti dengan perampasan atau konsinyasi, katanya harus pergi ke pengadilan mengambil ganti rugi yang dipaksakan. Sudahkah Bapak menghitung berapa banyak lapangan kerja upah murah yang diciptakan dari proses-proses tersebut? Jauh lebih sedikit dari jumlah rakyat yang telah kehilangan kerja, kehilangan usaha-usaha taninya yang dilibas, wilayah adatnya, kehilangan tumpuan hidupnya akibat perampasan tanah tersebut,” ungkapnya.

Disini, dia juga memaparkan, bahwa tidakkah Bapak tahu, mengapa banyak pengangguran? Karena Bapak tidak berusaha agar Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan itu. Apalagi HGU tersebut sudah diterlantarkan atau kadaluarsa atas haknya, agar dijadikan koperasi dengan kolaborasi antara rakyat.
Banyak para sarjana dan alumni yang mengavokasi Sekti, agar bersama Negara untuk menyediakan kredit, transfer teknologi dan pengetahuan sekaligus tanahnya.

“Namun sebaliknya, justru Bapak dan kawan-kawan Menteri Bapak ingin menyediakan tanah, tenaga kerja, akses pengetahuan paling mutakhir dan kredit besar hanya untuk mereka yang sudah besar menjadi semakin raksasa. Bapak bahkan ingin memberi para raksasa itu 90 puluh tahun sekaligus lewat RUU Cipta Kerja! Lebih lama dari “Kafir Belanda”, istilah leluhur Bapak di Atjeh dulu untuk menyebut Pemerintah Kolonial. Kolonial saja memberi 75 tahun Bapak! Itu sudah membuat menderita putera-puteri negeri selama 350 tahun,” bebernya.

Baca Juga :  Pamor Persada Akabri 2000 Kembali Salurkan Bansos Bagi Korban Banjir Di Desa Merapi

Sekarang di jaman merdeka ini, penilaian Sekti, menurut Juma’in, justru Bapak mau menambah lebih lama15 tahun lagi, menjadi Jadi 90 tahun untuk investor.

“Bapak mau cintakan kerja, tapi dengan cara petani dipaksa jadi buruh kebun, atau menjadi tak bertanah, buruh tani, menjadi petani gurem, atau terpaksa memilih menjadi TKI/TKW,” tambahnya.

Mungkin pihak Sekti, seperti yang Bapak bilang, kalau mungkin para petani tidak tahu isi Omnibus Law. Maka Juma’in menyarankan, mari bersama-sama membaca ulang UUD kita, pasal 33 Ayat 3. Mari resapi lagi cita-cita para pemikir ideologi bangsa dalam UUPA 1960. Lupakah Bapak bahwa tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan manusia atas manusia lainnya, tanah memiliki fungsi sosial dan sumber-sumber agraria kita.

“Tanah air kita tidak boleh dimonopoli oleh usaha swasta. Negara lah yang harus mengaturnya untuk keadilan sosial dan kebahagiaan rakyat,” imbuhnya.

Ditegaskan pula, bahwa para petani tidak asal saja menolak,
Namun bukan hanya Bapak yang pintar (berkelit), para petanipun kata Juma’in juga punya akal dan pikiran.

“Kami pun manusia dengan rasa ingin merdeka di Tanah-Air kami sendiri. Kami ingin tenang dengan tanah milik kami. Hak Konstitusi kami,” ujarnya lagi.

Terakhir kali, soal ayat agama yang Bapak singgung. Sebagai orang beragama sepertinya Bapak memahami surat Al-Maun, bahwa orang-orang yang medustakan agama adalah orang yang mengambil harta anak yatim dan tidak memberi makan orang miskin. Mengapa mereka yatim dan miskin? Sebab apa kira-kira? Sebab sumber makannya hendak Bapak berikan kepada mereka yang sudah sangat kenyang melalui RUU Cipta Kerja ini.

Reporter : Fuad/Guntur
Editor : Amin
Publisher : Ela