Penulis: M. Irfan Kurniawan
Pengusaha dan Pemerhati lingkungan
Kebanyakan orang merasa lega setelah buang sampah pada tempatnya. Seolah-olah semua masalah ikut keluar bersama “buntelan” tersebut. Layaknya Buang Air Besar; perut lega, urusan septiktank penuh atau enggak, bukan urusan lagi.
Padahal, buang sampah bukan berarti sampah hilang. Ia cuma pindah tempat. Dari dapurmu ke depan atau belakang rumah. Dari depan rumah ke pinggir jalan. Lalu lanjut, dari pinggir jalan ke TPA. Dari TPA, sebagian bisa kembali lagi menyapa kita dalam bentuk bau, banjir, bahkan penyakit.
Itulah sampah. Kita seperti kenangan bersama “mantan” yang sewaktu-waktu sangat jelas menyapa; entah dalam ingatan atau kenyataan.
Ironisnya, kita suka bilang: “yang penting buang sampah pada tempatnya.” Kalimat itu terdengar bijak, tapi seringkali cuma jadi “excuse.” Bahkan semacam “pembenaran” terselubung. Sama seperti orang bilang, “yang penting beragama, urusan akhlak mah belakangan.” Atau; “yang penting bekerja, bener atau enggak, urusan belakangan.”
Ya, sampah tidak hilang hanya karena kita lempar jauh. Sama seperti masalah hidup, kalau gak diselesaikan dengan tuntas ia akan menunggu kita di tikungan berikutnya.
Dan jangan salah, sampah itu setia. Kita buang pagi, sore dia bisa balik lewat saluran air yang mampet. Kita buang hari ini, lusa ia muncul lewat bau. Kita buang minggu ini, bulan depan ia muncul lagi sebagai harga sayur yang naik karena tanah tercemar.
Lagi-lagi itulah sampah. Hal yang sebenarnya adalah bagian dari diri dan hidup kita; gak terpisahkan. Seperti dua sejoli.
Sampah bukan soal dibuang atau tidak. Ia soal bagaimana kita bersikap dan memperlakukannya. Bagaimana kita memperlakukan rumah kita, lingkungan kita, hingga hidup kita.
Jadi, sebelum bilang, “yang penting buang sampah pada tempatnya,” coba tanyakan: tempatnya di mana? Apakah tempat itu cukup jauh, atau hanya cukup untuk menipu hati dan pikiran kita sendiri?