Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Opini

PMII dan Metamodernisme: Tantangan dan Peluang Kaderisasi Masa Depan

Avatar of admin
×

PMII dan Metamodernisme: Tantangan dan Peluang Kaderisasi Masa Depan

Sebarkan artikel ini
IMG 20250420 062956
Foto: Maksudi, M.M, Pengurus PKC PMII Jawa Timur.

Oleh Maksudi, M.M. — Pengurus PKC PMII Jawa Timur

Memasuki usia ke-65 pada 17 April 2025, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) berada di persimpangan zaman yang kompleks dan penuh dinamika.

Sebagai organisasi ekstra-kampus yang lahir dari rahim Nahdlatul Ulama (NU), PMII telah melalui berbagai fase sejarah politik Indonesia—mulai dari era Orde Lama, Orde Baru, hingga masa Reformasi.

Di tengah era metamodernisme, di mana realitas digital dan paradoks zaman saling berkelindan, PMII ditantang untuk merumuskan ulang model kaderisasi yang relevan dan adaptif.

Pertanyaannya: bagaimana PMII dapat memadukan nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan dengan semangat generasi kreator digital masa kini?

Sejarah dan Kilas Balik Paradigma PMII

PMII lahir pada 17 April 1960 di Surabaya sebagai respons terhadap kekacauan politik di era Demokrasi Terpimpin.

Dinahkodai oleh Mahbub Djunaidi sebagai ketua pertama. Organisasi ini hadir sebagai wadah untuk mengawal nilai-nilai Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) sekaligus memperjuangkan keindonesiaan.

Dalam perjalanannya, PMII mengalami transformasi paradigma gerakan sebagai bentuk respons terhadap dinamika sosial-politik nasional.

Pada tahun 1997, di bawah kepemimpinan Muhaimin Iskandar, PMII mengusung Paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran yang menitikberatkan pada kritik terhadap ketimpangan sosial serta advokasi bagi kelompok marginal.

Gerakan ini menolak hegemoni negara dan kapitalisme, serta menegaskan pentingnya solidaritas dengan masyarakat terpinggirkan.

Dua tahun kemudian, di era kepemimpinan Syaiful Bahri Anshori (1997–2000), PMII mengadopsi Paradigma Kritis Transformatif (PKT). Pendekatan ini dipengaruhi oleh teori kritis Mazhab Frankfurt serta pemikiran para intelektual muslim seperti Hasan Hanafi, Ali Asghar Engineer, dan Muhammad Arkoun. Fokus utamanya adalah dekonstruksi sistem yang menindas dan pembangunan kesadaran kritis kader.

Baca Juga :  Pemuda, Ayo Bangun Desa Dan Kawal Dana Desa

Namun, dalam menghadapi derasnya arus neoliberalisme, pada masa kepemimpinan Herry Harianto Azumi (2006–2008), PB PMII mengembangkan paradigma Menggiring Arus Berbasis Realitas.

Paradigma ini mengombinasikan analisis humanis-kritis dalam mengkritik ketidakadilan dengan pendekatan fungsional-struktural dalam rangka berkolaborasi dengan negara melalui program-program pemberdayaan masyarakat.

Sepanjang sejarahnya, nilai-nilai Aswaja tetap menjadi ruh gerakan PMII, dengan prinsip tawasuth (moderasi), tawazun (keseimbangan), dan tasamuh (toleransi) sebagai fondasi berpikir dan bertindak.

Paradigma Metamodernisme: Menyikapi Paradoks Zaman Kreator Digital

Istilah metamodernisme pertama kali dicetuskan oleh Mas’ud Zavarzadeh pada tahun 1975 untuk menggambarkan tren dalam kesusastraan Amerika.

Kini, konsep tersebut menjelma menjadi semangat zaman digital yang sarat kontradiksi: pergeseran antara idealisme modernis yang naif dan sinisme postmodernis yang apatis. Fabio Vittorini menyebutnya sebagai tarian antara fanatisme dan pragmatisme.

Dalam konteks ini, nihilisme tidak dihindari, tetapi dijinakkan. Sebagaimana disampaikan oleh Pieter Levels: “Kita mungkin tak berarti, tapi mengapa tidak menciptakan makna sambil menari?”

Era internet melahirkan Zaman Kreator Daring, di mana fanfiction, remix, meme, vlog, hingga TikTok menjadi medium ekspresi kultural. Fanfiction menghidupkan kembali narasi lama, remix menyajikan ulang nostalgia dalam nuansa baru, meme menjadi alat kritik sosial, dan vlog menjadi wahana refleksi personal yang terhubung dengan isu kolektif.

Berbeda dari pseudo-modernisme yang pasif (klik-gulir-ulangi), metamodernisme adalah keterlibatan aktif yang menyadari keterbatasan namun tetap mencipta.

Greg Dember menawarkan konsep-konsep seperti normcore (kesederhanaan gaya yang meruntuhkan hierarki), ironi tulus (kejujuran dalam sarkasme), serta pastiche konstruktif—yakni kolaborasi antar-genre tanpa tendensi ejekan. Contohnya adalah iklan Bryan Wilson yang sengaja dibuat tak beraturan, memadukan meme dengan pesan profesional, menertawakan diri sendiri sambil menantang norma.

Baca Juga :  Siap Belajar Pantang Menyerah Motto SDN Kamoning 1 Sampang

Intinya, metamodernisme adalah seni merangkul ambiguitas: membangun dari reruntuhan dekonstruksi, menyandingkan ironi dengan ketulusan, serta membuka ruang kolaboratif tanpa pretensi.

Bagi PMII, metamodernisme menyuguhkan peluang untuk mentransformasikan kaderisasi menjadi proses yang dinamis, kontekstual, dan kreatif.

Kampanye moderasi beragama, misalnya, bisa dikemas melalui konten TikTok yang memadukan humor dengan pesan keislaman. Webinar bertema keadilan iklim dapat dikemas dalam format podcast interaktif yang mengundang partisipasi luas.

Namun demikian, peluang tersebut juga menghadirkan tantangan besar: bagaimana menjaga kemurnian nilai Aswaja di tengah banjir informasi dan budaya instan klik-scroll-repeat yang mendorong individualisme?

Tantangan dan Peluang Kaderisasi PMII di Masa Depan

Tantangan terbesar PMII ke depan adalah menjawab disrupsi digital yang telah mengubah cara generasi muda berpikir, berinteraksi, dan berorganisasi.

Survei BNPT (2019) menunjukkan bahwa 80% Generasi Z di Indonesia rentan terpapar ekstremisme digital akibat rendahnya literasi kritis.

PMII perlu mengembangkan model kaderisasi yang bukan hanya responsif terhadap perkembangan teknologi, tetapi juga membangun kesadaran ideologis yang kuat, dialogis, dan partisipatif.

Kaderisasi metamodern harus membuka ruang kreasi, bukan sekadar reproduksi dogma. Nilai Aswaja dapat diinternalisasi lewat pendekatan naratif, visual, dan dialog antarbudaya yang menyentuh nalar dan rasa.

Di titik ini, kaderisasi bukan hanya proses pendidikan struktural, tetapi juga transformasi kultural yang menjadikan setiap kader sebagai aktor dan panggung dalam satu waktu.

Jika kamu ingin versi ini dijadikan PDF atau butuh versi lebih ringkas untuk publikasi media sosial atau pamflet, tinggal bilang saja.***