OPINI, Jumat (05/05/2023) suaraindonesia-news.com – Sistem pemasyarakatan di Indonesia seringkali memantik diskusi hangat, terlebih lagi pemidanan pokok yang terkesan berfokus kepada pemenjaraan seorang narapidana menimbulkan permasalahan sosial. Permasalahan yang banyak diperbincangkan dan menjadi persoalan yang tidak ada habisnya adalah mengenai lapas dan rutan yang penuh sesak atau biasa dikenal dengan istilah overcapacity.
Fenomena ini terjadi di banyak lapas di Indonesia, lapas-lapas yang menampung narapidana melebihi kapasitas yang seharusnya masih banyak di temukan.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, terdapat 276.172 penghuni lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan) pada 19 September 2022. Dengan demikian, terjadi kelebihan penghuni sebanyak 144.065 jiwa (109%) dari total kapasitas sebanyak 132.107 jiwa.
Menurut statusnya, terdapat 227.431 jiwa yang merupakan narapidana dan ada 48.741 jiwa yang merupakan tahanan. Dengan fenomena yang terjadi ini, perlu kita garis bawahi bagaimana sebenarnya langkah yang perlu ditempuh dalam menyelesaikan persoalan tersebut.
Meskipun narapidana merupakan seorang yang direnggut hak kemerdekaannya dalam bergerak oleh negara, bukan berarti negara tidak memiliki kewajiban untuk memenuhi hak asasi manusia dari seorang narapidana.
Baca Juga: Rutan Dumai Ziarah dan Tabur Bunga di Taman Makam Pahlawan Sentosa
Perbandingan antara narapidana yang masuk ke dalam Lembaga Pemasyarakatan dengan narapidana yang bebas dalam kurun waktu tertentu tidak seimbang dan pada akhirnya menimbulkan permasalahan overcapacity. Kondisi demikian menjadikan lingkungan Lembaga Pemasyarakatan menjadi kurang maksimal dalam melakukan pelayanan pembinaan terhadap narapidana.
Sedangkan kalau berbicara mengenai narapidana, Lembaga Pemasyarakatan yang merupakan perpanjangan tangan negara seharusnya mampu memberikan program pembinaan yang ideal sehingga pada hasil akhirnya bisa membentuk narapidana menjadi seorang yang siap menjalani kehidupan di lingkungan masyarakat.
Selain itu, kondisi lembaga pemasyarakatan yang tidak ideal akan memberikan hasil negative pada proses pembinaan. Hal ini disebabkan dengan ketidak seimbangan jumlah petugas dan narapidana. Pada akhirnya kondisi tersebut bisa melemahkan pengawasan terhadap proses pembinaan yang diberikan.
Sejalan dengan itu penelitian Sykes terkait “pains of impri- sonment theory” mengatakan bahwa pada hakikatnya prisonisasi terbentuk sebagai respon terhadap masalah-masalah penyesuaian yang dimunculkan sebagai akibat pidana penjara itu sendiri dengan segala bentuk perampasan.
Dalam arti kata lain, dampak dari kepenuhsesakan yang menjadi imbas pemenjaraan akan menimbulkan permasalahan lainya atau umpan balik dari permasalahan kepenuhsesakan yang terjadi.
Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kasus dari mulai peredaran narkoba, sampai kepada gangguan kemanan dan ketertiban di dalam Lembaga Pemasyarakatan yang dihasilkan dari imbas kepenuhsesakan atau overcapacity itu sendiri.
Belum lagi ditambah oleh stigma minor masyarakat yang menganggap bahwa lembaga pemasyarakatan merupakan sekolah kejahatan, dalam artian lain banyak terjadi seorang resdivis (seseorang yang mengulangi tindakan pidana) yang mengalami peningkatan jenis kejahatan setelah menjalani masa hukumanya di Lembaga Pemasyarakatan. Oleh karena itu diperlukan solusi bagaimana menghadapi situasi yang terjaid di lapangan sehingga dampak buruk dari overcapacity ini bisa ditekan.
Kebijakan dalam rangka menekan angka overcapacity nampaknya banyak di lakukan. Diantaranya dengan upaya-upaya seperti pembangunan kamar baru bagi narapidana, pembaharuan bangunan lapas hingga dengan pembangunan Lapas baru dengan tujuan utama menambah kapasitas narapidana.
Baca Juga: Program Asimilasi Rumah di Rutan Tanjungpinang Diperpanjang Sampai Juni 2023
Akan tetapi hal ini nampaknya tidak terlalu signifikan dalam menyikapi permasalahan overcapacity mengingat jumlah narapidana yang masuk tak sebanding dengan jumlah narapidana yang keluar dari lembaga pemasyarakatan. Selain itu, pembangunan lapas baru juga membutuhkan waktu yang lumayan cukup lama dan juga biaya yang sangat besar. Lantas solusi apa yang bisa menjadi penawaran menjanjikan dalam menangani permasalahan menahun tersebut.
Mengacu kepada teori stakeholder yang dikemukakan oleh Stanford Research Institute (1963) menyatakan bahwa ada kelompok-kelompok tertentu yang menjadi pendukung dalam proses berjalanya suatu organisasi dalam mencapai tujuannya.
Jika kita lihat kepada situasi Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia, tentu bukan hanya menjadi pekerjaan rumah bagi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan sebagai Institusi yang menjalankan amanat undang-undang dalam penegakan hukum di bidang perilaku terhadap narapidana, namun juga menjadi pekerjaan rumah terhadap seluruh pihak terkait yang ada di dalam Integrated Criminal Justice System.
Hal ini sejalan dengan posisi pemasyarakatan yang ada di akhir dari proses penegakan hukum pidana di Indonesia. Artinya, pemasyarakatan membutuhkan sinergi dengan pihak pihak lainya seperti POLRI, Kejaksaan, dan Pengadilan untuk membenahi permasalahan overcapacity tersebut.
Baca Juga: Sambut HSN 2022, Warga Binaan Rutan Kelas IIB Sumenep Antusias Ikuti Program Belajar Ngaji
Kehadiran restorative justice dirasa menjadi konsepsi dasar yang mampu menyelaraskan setiap pihak yang tergabung di dalam Integrated Criminal Justice System (ICJS) sehingga bisa berjalan bersama dalam menangani permaslahan yang terjadi. Harapanya ketika Aparat Penegak Hukum (APH) yang tergabung di dalam ICJS mampu bersinergi satu sama lain, permaslahan overcapacity ini bisa terselesaikan, paling tidak angka penghuni lapas di indoensua yang menunjukan overcapacity bisa menurun setiap tahunya.
Hal-hal demikian tidak mudah diterapkan, dibutuhkan regulasi dan sinergi yang baik diantara setiap pihak. Namun, kesulitan tersebut bukan juga diartikan sebagai kemustahilan, justru keadaan di lapangan menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi sistem peradilan pidana di Indoensia untuk bisa diselesaikan.
Pada hakekatnya, sistem peradilan pidana melalui pemasyarakatan tidak mengkehendaki konsepsi-konsepsi pemenjaraan yang kental dengan kepenuhsesakan, namun Indonesia kini dengan wajah pemasyarakatan tengah berbenah menghadapi situasi yang ada.
Dengan semangat membangun dan perbaikan yang berkelanjutan, sistem peradilan pidana khususnya pemasyarakatan bisa terus bergerak ke arah yang lebih baik, asalkan tadi kuncinya adalah sinergitas antara pihak-pihak yang tergabung di dalam Integrated Criminal Justice System.
*. M. Enrico Giralda Harsari, salah satu mahasiswa Manajemen Pemasyarakatan di Politeknik Ilmu Pemasyarakatan, Tanah Tinggi, Kecamatan Tangerang, Kota Tangerang, Banten 15119.