PAMEKASAN, Minggu (19/06/2022) suaraindonesia-news.com – Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Pamekasan, Jawa Timur, mendukung penuh program moderasi beragama yang digagas oleh Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia.
Program moderasi beragam tersebut dinilai sangat efektif untuk menjadi perekat kebangsaan, karena Indonesia merupakan negara yang multi-agama.
Dukungan itu disampaikan Sekretaris PCNU Pamekasan Moh. Dahlan, setelah menerima kunjungan Kepala Kemenag Pamekasan Ahmad Mawardi, alam.
Moh. Dahlan menyampaikan, sebagian materi moderasi beragama yang digagas Kemenag RI senafas dengan keputusan Musyawarah Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama tahun 2019.
Keputusan konferensi besar NU pada tabun 20219 kemarin itu, di mana tidak ada sebutan kafir untuk orang yang bukan beragama islam, melainkan non-muslim.
Di Indonesia dalam ranah sosial dan kehidupan berbangsa dan bernegara. Istilah kafir tidak dikenal dalam sistem kewarganegaraan pada suatu negara dan bangsa.
“Dalam ranah sosial serta kehidupan berbangsa dan bernegara indonesia yang mempunya suku, agama bahasa dan ras, jangan ada sebutan kafir tetapi non Muslim,” kata Moh. Dahlan.
Program moderasi beragama perlu juga didukung oleh organisasi lainnya yang memiliki kesamaan pandangan dalam hal kebangsaan, Misalnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
“Moderasi beragama tidak hanya tanggung jawab NU dan Kemenag, tetapi tugas bersama yang memiliki kesamaan dalam pandangan kebangsaan,” terang mantan Ketua PC GP Ansor Pamekasan ini.
Dahlan menambahkan, aparat keamanan tidak bisa diam ketika ada benih-benih yang akan mengganggu dan merusak moderasi beragama.
“Aparat keamanan harus tegas jika ada benih intoleransi. Jika dibiarkan, benih itu akan tumbuh sekaligus dapat merusak kebhinekaan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebab, taruhannya adalah keutuhan NKRI,” tegasnya.
Menurut Dahlan, benih-benih intoleransi dan ekstremisme agama khususnya di Kabupaten Pamekasan sudah terlihat dan terang. Namun aparat keamanan menutup mata. Misalnya, menilai orang yang tidak sama dalam pemahaman agama, distigma kafir dan murtad.
“Takfiri dan pemurtadan sesama muslim itu, bagian dari benih ekstremisme agama. Pada puncaknya, pemahaman seperti ini menjadi terorisme,” pungkasnya.
Sementara itu, Katib Syuriah PCNU Pamekasan, Abdul Bari mengatakan, penyebutan mukmin dan kafir itu ada di ranah privat teologis masing-masing agama. Bagi orang Islam, non-muslim itu kafir, begitu juga sebaliknya.
“Tetapi, idiom ini tidak berlaku di ranah publik (mu’âmalah wathaniyah). Semua adalah warga negara yang berkedudukan sederajat,” ucap Abdul Bari.
Abdul Bari yang akrab disapa Kiai Katib itu menjelaskan, Rasulullah SAW pada pada saat mendirikan negara Madinah, kaum Muslim dan Yahudi dengan beragam suku dan agama lainnya disebut sebagai Ummatan Wahidah. Dalam konteks bernegara saat ini, ketika ada pemerintah menyampaikan program yang berkaitan dengan istilah non-muslim dan kafir, penting dilihat dulu konteksnya.
“Namun, dalam konteks pengajaran agama, Islam khususnya, yang disampaikan kepada orang Islam dan mengutip ayat Alquran, kata kafir sifatnya mutlak dan tidak boleh diganti dengan kalimat non-muslim,” tukas Kiai Katib.
Reporter : My
Editor : Redaksi
Publisher : Romla













