Oleh: Puri Rahayu*
A. Pendahuluan
Indonesia dikenal sebagai negara di mana keanekaragaman budaya berkembang subur, dijaga, dan dihargai oleh penduduknya. Lebih dari 740 kelompok etnis atau suku berbeda dan 583 bahasa serta dialek yang berasal dari 67 bahasa induk telah ditemukan di dalam batas negara ini (Truna 2010). Selain itu, berbagai agama seperti Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, Kong Hu Chu, dan banyak agama serta kepercayaan lokal lainnya telah diikuti oleh masyarakat, menjadi bagian integral dari kekayaan budaya lokal. Keanekaragaman budaya, yang juga dikenal sebagai multikulturalisme, merupakan hasil dari interaksi alami antara berbagai budaya.
Di dalamnya terjadi pertemuan individu dan kelompok dari latar belakang yang beragam, yang membawa bersama perilaku budaya dan gaya hidup yang berbeda-beda serta khas. Beragam aspek seperti keragaman budaya, latar belakang keluarga, agama, dan etnis saling berdampingan dalam komunitas masyarakat Indonesia, membentuk keterikatan yang kompleks dan saling mempengaruhi (Akhmadi 2019). Al-Qur’an merupakan pedoman suci dan sempurna bagi umat Islam, serta berperan sebagai hukum utama dalam kehidupan mereka. Kitab suci ini memberikan arahan kepada semua yang memerlukannya dan juga menjadi contoh serta panduan bagi mereka yang ingin merenunginya secara mendalam (Anwar 2009, seperti yang dikutip dalam sumber tersebut).
Moderasi Islam (Islam Wasatiyah), perlu ditekankan bahwa konsep ini tengah menjadi pusat perdebatan yang sengit. Saat kita berbicara tentang bagaimana ajaran Islam diartikulasikan, terkadang muncul sudut pandang yang ekstrem dari sebagian kelompok. Dampaknya, ini bisa memicu tindakan-tindakan intoleransi dan kekerasan yang mengkhawatirkan. Walaupun Islam memiliki rujukan utama, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits, nyatanya fenomena yang kita lihat menunjukkan wajah-wajah yang beragam dalam Islam.
Berbagai kelompok Islam memiliki ciri khas sendiri dalam praktik dan pengamalan agama. Perbedaan ini seolah telah menjadi hal yang lumrah, sebagai bagian dari rencana Ilahi, bahkan bisa dianggap sebagai rahmat. Quraish Shihab (2007) mencatat bahwa dalam kehidupan, keragaman adalah sesuatu yang dikehendaki oleh Allah. Ini juga termasuk perbedaan dalam bidang ilmiah dan variasi pendapat. Bahkan, perbedaan pandangan tentang kebenaran kitab suci, penafsiran isinya, dan cara penerapan juga merupakan bagian dari keragaman ini.
Dalam praktik keagamaan, ajaran suatu agama yang muncul ke publik biasanya memiliki dua sisi, di mana prinsip das sollen (ide moral) seringkali bertentangan dengan realitas sosial keagamaan yang terjadi (das sein). Dalam konteks ini, perilaku intoleran yang ditunjukkan oleh kelompok ekstremis dalam komunitas Muslim sebenarnya telah merusak citra Islam yang sebelumnya dikenal sebagai agama yang membawa kasih sayang kepada seluruh alam. Sikap keras dan tidak toleran ini bertentangan dengan tujuan utama ajaran Islam untuk memelihara jiwa, agama, harta, keturunan, dan akal. Ironisnya, perilaku Nabi Muhammad yang dicatat dalam berbagai literatur hadis menggambarkan gambaran yang berbeda. Nabi Muhammad, dalam peran utamanya sebagai utusan Tuhan, memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan akhlak atau moralitas.
Dalam konteks yang diharapkan, merujuk kepada teladan Nabi menjadi penting untuk memahami sisi moderat Islam (wasatîyah). Untuk memahami dan menerapkan konsep ini, penting untuk memeriksa hadits-hadits Nabi dengan lebih menyeluruh. Dengan pendekatan tersebut, contoh teladan Nabi dapat diartikan ke dalam konsep-konsep dan nilai-nilai universal yang tinggi, yang kemudian dapat membimbing masyarakat Muslim dalam menjalankan aspek ritual dan sosial keagamaan mereka (Ardiyansyah 2016).
B. Pembahasan
1. Sekilas Tentang Moderasi Beragama
a. Moderasi
Istilah moderasi berasal dari bahasa Latin, yaitu “moderâtio,” yang mencerminkan konsep kesederhanaan, di mana tidak ada kelebihan maupun kekurangan. Dalam esensinya, ini merujuk pada kemampuan mengendalikan diri dari perilaku yang berlebihan maupun kurang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, moderasi memiliki dua makna pokok, yaitu pengurangan intensitas dan penghindaran tindakan berlebihan. Dalam pandangan moderat, tindakan ekstrem dihindari, dan arah yang diambil cenderung pada jalan tengah. Lukman Hakim Saifuddin menyatakan bahwa sikap moderat menggambarkan keseimbangan, kelaziman, dan kesejajaran.
Dia menambahkan bahwa dalam bahasa Inggris, moderasi kerap diartikan sebagai rata-rata, inti, standar, atau tidak berpihak. Pada umumnya, moderasi menekankan keseimbangan dalam keyakinan, moralitas, dan kepribadian, baik dalam interaksi dengan individu maupun negara.
Dalam bahasa Arab, moderasi disebut “wasath” atau “wasathiyah,” yang bermakna tengah-tengah, keadilan, dan keseimbangan. Seseorang yang menganut prinsip ini dikenal sebagai “wasith.” Dalam bahasa Arab juga, wasathiyah diartikan sebagai “pilihan terbaik.” Dalam konteks ini, kesemuanya merujuk pada prinsip keadilan, di mana posisi yang diambil berada di tengah-tengah antara opsi ekstrem. Dalam bahasa Indonesia, istilah “wasith” telah diadopsi menjadi “wasit,” dengan makna perantara, pendamai, atau pemimpin dalam suatu pertandingan.
b. Beragama
Beragama merupakan tindakan menerima atau mengikuti suatu agama, sementara agama itu sendiri melibatkan konsep, sistem, serta prinsip-prinsip keyakinan terhadap Tuhan, termasuk ajaran tentang ibadah dan tanggung jawab yang terhubung dengan keyakinan tersebut (sesuai KBBI 2020).
Berbagai agama ada di dunia ini, tidak hanya satu. Di Indonesia, agama-agama yang diakui oleh negara adalah Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan Konghucu.
Secara linguistik, “beragama” mengacu pada mengikuti suatu agama. Contohnya: Saya mengikuti agama Islam, sementara dia menganut agama Kristen. Kata “beragama” juga mencerminkan pengabdian kepada agama, ketaatan terhadap agama, dan hidup yang sesuai dengan ajaran agama. Contohnya: Dia berasal dari keluarga yang taat beragama. Selain itu, “beragama” juga bisa menggambarkan rasa kagum yang besar, ketertarikan yang kuat, atau penekanan pada suatu hal (sebagai kata dalam percakapan). Contohnya: Mereka sangat mengagumi kekayaan.
Dalam konteks istilah, beragama berarti menyebarkan perdamaian dan kasih sayang, kapan pun dan di mana pun, kepada siapa pun. Tujuannya bukan untuk menghapus perbedaan, melainkan untuk menghadapinya dengan bijaksana. Agama hadir untuk memastikan bahwa martabat dan hak asasi manusia tetap terlindungi. Oleh karena itu, janganlah menjadikan agama sebagai alat untuk merendahkan, menghina, atau menghilangkan yang lain.
Oleh karena itu, mari kita selalu menyebarkan perdamaian dengan semua orang, di mana pun dan kapan pun. Beragama bisa diibaratkan seperti gerakan dari pinggir menuju pusat atau sumbu (gerakan sentripetal), sedangkan ekstremisme adalah gerakan yang berlawanan, menjauh dari pusat atau sumbu, menuju sisi paling luar dan ekstrem (gerakan sentrifugal). Seperti bandul jam, gerakan dinamis terjadi, tidak berhenti pada satu sisi ekstrem, tetapi bergerak menuju pusat. Ini mencakup menjaga hati, perilaku, masyarakat, dan lingkungan ini secara keseluruhan.
Moderasi beragama menggambarkan perspektif yang seimbang dalam menjalani keyakinan agama. Ini mencakup pemahaman dan praktik agama tanpa menyeret ke arah ekstrem, baik dalam bentuk ekstremisme konservatif maupun liberal.
Tantangan seperti ekstremisme, radikalisme, penyebaran ujaran kebencian, dan ketegangan antar kelompok agama saat ini menjadi isu penting di Indonesia. Dalam analogi yang dapat digunakan, moderasi berperan seperti gerak menuju pusat atau titik tengah (centripetal), sementara ekstremisme mengarah ke luar dari pusat (centrifugal). Mengibaratkannya sebagai bandul jam, gerakan yang dinamis melambangkan sikap moderasi yang bergerak menuju tengah, bukan stagnan di titik ekstrem.
Dalam konteks agama, sikap moderat adalah pilihan untuk mengadopsi pandangan, sikap, dan perilaku yang berada di tengah-tengah antara pilihan ekstrem. Di sisi lain, ekstremisme agama melibatkan pandangan, sikap, dan perilaku yang melewati batas-batas moderasi dalam pemahaman dan praktek agama. Oleh karena itu, moderasi beragama mengartikan pandangan, sikap, dan perilaku yang berpusat pada keseimbangan, kesetaraan, dan menghindari ekstremisme dalam menjalani agama. Pengukuran, batasan, dan indikator dibutuhkan untuk menilai apakah suatu pandangan, sikap, atau perilaku agama cenderung moderat atau ekstrem.
Moderasi beragama memiliki peran penting dalam membangun toleransi dan kerukunan, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global. Memilih moderasi dengan menolak ekstremisme dan juga liberalisme agama membantu menjaga keseimbangan, yang pada gilirannya mendukung perkembangan peradaban dan penciptaan kedamaian. Pendekatan ini memungkinkan setiap individu beragama untuk menghormati orang lain, menerima perbedaan, dan hidup bersama dalam harmoni.
Terutama dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, moderasi beragama menjadi suatu keharusan, bukan sekadar pilihan (Saifuddin 2019).
2. Ayat –Ayat AL Qur’an dan Hadits tentang Moderasi Beragama
a. Moderasi Beragama dalam Al-Qur’an
Para pemuka Islam telah lama menyepakati bahwa Al-Qur’an dan Hadis adalah sumber dan rujukan utama dalam menghadapi segala masalah dalam kehidupan. Mulai dari generasi masa Rasulullah hingga saat ini, umat Islam telah merujuk pada kedua sumber ini untuk mendapatkan panduan. Begitu pula dengan isu moderasi beragama yang belakangan ini menjadi perbincangan hangat di berbagai media, baik cetak maupun elektronik.
Meskipun kata dan istilah “moderasi beragama” tidak berasal dari bahasa Arab, yang merupakan bahasa Al-Qur’an dan Hadits, melainkan kata serapan dalam bahasa Indonesia, pertanyaannya muncul apakah konsep moderasi beragama secara eksplisit terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis, yang menjadi sumber utama pedoman umat Islam di seluruh dunia. Ketika merujuk kepada Al-Qur’an, meskipun istilah “moderasi beragama” mungkin tidak secara langsung disebutkan, prinsip-prinsip yang mendukung moderasi, keseimbangan, dan pencegahan ekstremisme dapat diidentifikasi dalam berbagai ayat. Al-Qur’an mendorong umatnya untuk menjaga keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk agama. Misalnya, dalam Surah Al-Baqarah (2:143), Allah berfirman tentang umat Muslim sebagai “umat yang pertengahan” (ummatan wasaṭ), yang menunjukkan pentingnya memelihara keseimbangan.
Hal serupa juga dapat ditemukan dalam Hadits, di mana ajaran Rasulullah memberikan arahan tentang pentingnya menjaga keseimbangan dalam beragama dan menghindari ekstremisme. Contohnya, Rasulullah SAW pernah bersabda dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, “Sesungguhnya agama ini mudah. Dan siapa pun yang mengkhususkannya terlalu jauh, ia akan terhimpit. Oleh karena itu, berpegang teguhlah pada yang mudah. “Meskipun istilah spesifik “moderasi beragama” tidak terdapat dalam sumber-sumber utama tersebut, konsep kesederhanaan, keseimbangan, dan penghindaran ekstremisme yang mendasari moderasi beragama dapat ditemukan dan diambil sebagai pedoman dari Al-Qur’an dan Hadits. Oleh karena itu, meskipun istilahnya mungkin baru, prinsip-prinsip moderasi beragama sejalan dengan ajaran Islam yang terkandung dalam sumber-sumber utama tersebut.
Jawaban dapat diambil dari Al-Quran dan Hadits, bukan hanya dari kamus istilah, karena keduanya merupakan panduan hidup bagi umat manusia. Dalam Al-Quran dan Hadits, yang lebih penting adalah memahami substansi dan makna yang terkandung, bukan sekadar kata-katanya. Pemeluk agama Islam perlu menggali makna ini dan mengembangkannya sesuai konteks dan zaman, sehingga ajaran tersebut tetap relevan dan dinamis.
Konsep moderasi dalam beragama dalam Al-Quran dan Hadits sering diidentifikasi sebagai “wasathan”. Kata ini memiliki makna yang lebih luas dan mendalam. Dalam konteks ini, wasathan dapat diartikan sebagai pendekatan yang seimbang dan moderat dalam menjalani ajaran agama. Konsep ini memiliki berbagai interpretasi dan dimensi, yang mencakup pengertian bahwa umat Islam adalah umat yang dipilih dan diangkat. Oleh para pakar Islam, konsep moderasi beragama ini dihubungkan dengan istilah “wasathan”. Istilah ini kemudian diperluas dalam maknanya, mencakup berbagai aspek dan terminologi. Penjelasan lebih lanjut mengenai moderasi beragama adalah sebagai berikut: bahwa moderasi beragama mengandung arti bahwa umat Islam harus mengikuti jalan tengah yang seimbang dan moderat dalam menjalani ajaran agama.
Artinya: Dan demikian Kami telah menjadikan kamu umatan wasatan agar kamu menjadi saksi-saksi atas perbuatan manusia dan agar rasul (Muhammad saw) menjadi saksi atas perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang dahulu menjadi kiblatmu melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa Amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah:143)
1) Moderasi beragama dalam keseimbangan fenomena alam
ٱلَّذِى خَلَقَ سَبْعَ سَمَٰوَٰتٍ طِبَاقًا ۖ مَّا تَرَىٰ فِى خَلْقِ ٱلرَّحْمَٰنِ مِن تَفَٰوُتٍ ۖ فَٱرْجِعِ ٱلْبَصَرَ هَلْ تَرَىٰ مِن فُطُورٍ
Artinya: Kamu sekali kali tidak akan melihat pada ciptaan Allah yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. (Al-Mulk: 3).
Artinya: Dan Dia lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya dengan buah-buahan berpasang pasangan. Allah menutup malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi kaum yang memikirkannya. (Ar- Ra’du: 3)
2) Moderasi beragama bermakna adil
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.
3) Moderasi beragama yang bermakna seimbang pola hidup
Artinya: dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (Al-Qashash: 77)
4) Moderasi beragama dalam
bersikap
Artinya: Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. Luqman: 19)
5) Moderasi beragama dalam bermoral
Artinya: (7) dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), (8) Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (9) Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. (Asy-Syams: 7-9)
6) Moderasi beragama dalam berbangsa dan bernegara.
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki- laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku- suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Al-Hujurat: 13)
3. Moderasi Beragama Dalam Hadist
a. HR. Bukhari
Dari Abû Hurayrah ra. berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Amal seseorang tidak akan pernah menyelamatkannya”. Mereka bertanya: “Engkau juga, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Begitu juga aku, kecuali jika Allah melimpahkan rahmat-Nya. Maka perbaikilah (niatmu), tetapi jangan berlebihan (dalam beramal sehingga menimbulkan bosan), bersegeralah di pagi dan siang hari. Bantulah itu dengan akhir-akhir waktu malam. Berjalanlah pertengahan, berjalanlah pertengahan agar kalian mencapai tujuan.”
b. HR. Ahmad, Baihaqqi dan Al-Hakim
Dari Buraydah al-Aslamî berkata: “pada suatu hari, aku keluar untuk suatu keperluan. Tiba-tiba Nabi saw. berjalan di depanku. Kemudian beliau menarikku, dan kami pun berjalan bersama. Ketika itu, kami menemukan seorang lelaki yang sedang shalat, dan ia banyakkan ruku’ dan sujudnya. Nabi bersabda: “Apakah kamu melihatnya sebagai orang yang riya’?” Maka aku katakan: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Beliau melepaskan tanganku dari tangannya, kemudian beliau menggenggam tangannya dan meluruskannya serta mengangkat keduanya seraya berkata: “Hendaklah kamu mengikuti petunjuk dengan pertengahan (beliau mengulanginya tiga kali) karena sesungguhnya siapa yang berlebihan dalam agama akan dikalahkannya.”
c. HR. Muslim
Jâbir b. Samurah berkata, “aku telah shalat bersama Nabi saw. berkali-kali, dan (aku dapati) shalatnya dalam pertengahan dan khutbahnya juga pertengahan.”
d. HR. Nasai dan Ibnu Majah
Ibn ‘Abbâs berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Wahai manusia, hindarilah sikap berlebihan (melampaui batas), sebab umat-umat terdahulu binasa karena sikap melampaui batas dalam beragama.”
e. HR. Muslim
‘Abdullâh b. Mas‘ûd berkata, Rasulullah saw. bersabda: “binasalah orang-orang yang melampaui batas”, (beliau mengulanginya tiga kali).”
4. Analisis Moderasi Beragama dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadist
Al-Quran dan Hadis merupakan sumber dan panduan utama bagi umat Muslim dalam menghadapi tantangan kehidupan. Tantangan global yang disebabkan oleh kemajuan teknologi dari negara-negara sekuler tidak dapat dihindari, tetapi seharusnya tidak menjadi sumber ketakutan karena ini adalah bagian dari realitas yang ada. Meskipun begitu, dunia Muslim harus menghindari jatuh ke dalam keterlenaan dan keasyikan merenungkan masa kejayaan peradaban masa lalu.
Saat ini, persaingan dalam bidang ekonomi, industri, teknologi, dan media memiliki dampak besar terhadap dunia Islam.
Era globalisasi, yang didukung oleh transformasi dan akses mudah terhadap informasi, telah membuat dunia semakin terhubung. Meskipun beragam dalam etnis, bahasa, budaya, dan agama, semua tampaknya bersatu dalam lingkungan global. Namun, kenyataannya, umat Islam terbagi menjadi berbagai sekte, aliran, dan pandangan yang sering kali saling bertentangan. Contohnya, Timur Tengah mengalami gejolak dengan konflik internal dan perang saudara. Keadaan ini menjadi peluang bagi pihak-pihak yang ingin melemahkan Islam.
Penyalahgunaan label-label seperti “Islam radikal,” “Islam teroris,” dan “Islam fundamentalis” menjadi strategi yang digunakan oleh lawan-lawan Islam untuk merendahkan dan merusak citra agama ini. Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk bersatu, merangkul keberagaman internal, dan bekerja sama dalam menghadapi tantangan global modern.
Dengan memahami prinsip-prinsip Islam secara mendalam dan mengaplikasikannya dengan bijak dalam konteks zaman sekarang, umat Muslim dapat mengatasi tantangan dengan lebih efektif dan membangun citra Islam yang lebih positif
Keadaan di atas sulit untuk dikendalikan dan diselesaikan karena pemahaman umat Islam saat ini terhadap ajaran agama mereka tidak seimbang, kurang akurat, lemah secara sebagian, dan berlebihan dalam hal fanatisme. Oleh karena itu, mereka menaruh rasa benci terhadap agama lain dan saling mengkafirkan sesama Muslim. Selain itu, dalam sektor ekonomi, industri, dan teknologi, dunia Islam telah tertinggal jauh dibandingkan dengan pihak lain, padahal sebelumnya umat Islam berada di garis depan peradaban dunia.
Menurut Yusuf Qardhawi (2017), yang diakui sebagai tokoh pemimpin dalam moderasi beragama di dunia Islam, kerusuhan dalam lingkungan beragama terjadi karena perilaku berlebihan dalam praktik beragama, dan hal ini ditandai oleh pendekatan yang berlebihan.
a) Fanatik pada suatu pendapat.
b) Kebanyakan orang mewajibkan atas manusia sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Allah.
c) Memperberat yang tidak pada tempatnya
d) Sikap kasar dan keras.
e) Buruk sangka terhadap manusia.
f) Terjerumus ke dalam jurang pengafiran.
Keenam faktor di atas timbul akibat interpretasi ekstrem agama dalam kalangan umat Islam yang kurang seimbang, mengakibatkan terjadinya ekstremisme dalam pelaksanaan praktik keagamaan. Interpretasi yang tidak seimbang terhadap ajaran agama mengakibatkan penyimpangan dari tujuan suci Islam itu sendiri, yakni “Islam dipersembahkan kepada seluruh alam sebagai anugerah, dan Nabi Muhammad diutus bukan semata untuk menyempurnakan moralitas manusia.”
Sumber kitab suci umat Islam sesuai dengan beberapa ayat Al-Quran dan Hadis yang telah disebutkan di atas menunjukkan keindahan kehidupan ini. Keharmonisan, kerukunan, kedamaian, kesejahteraan, tidak hanya membawa kebahagiaan bagi manusia tetapi juga bagi seluruh makhluk hidup. Jika umat Islam mampu menggali, memahami, membuktikan, dan mengaktualisasikan ajaran-ajaran ini dalam kehidupan sehari-hari, hal ini juga akan memengaruhi dunia dan agama lain.
Dalam Al-Quran, surat al-Hujurat ayat 13 dan ar-Ra’du ayat 3, Allah telah memberikan janji kepada umat Islam bahwa kehidupan yang sejahtera, harmonis, dan damai dapat diwujudkan jika mereka mampu memahami dan menerapkan nilai-nilai keseimbangan dan moderasi yang terkandung dalam Al-Quran. Contoh nyata dari hal ini adalah contoh Nabi Muhammad di Madinah, di mana beliau menciptakan “Piagam Madinah” untuk memastikan harmoni di antara berbagai suku, bangsa, budaya, dan agama.
Al-Quran juga mendorong untuk mengamati dan memahami keseimbangan tidak hanya dalam kehidupan sosial, tetapi juga dalam fenomena alam dan planet. Kehidupan dan fenomena alam membutuhkan keseimbangan untuk bertahan; jika tidak, alam bisa mengalami kerusakan dan bencana, yang dalam konteks agama disebut sebagai “kiamat”. Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk menerjemahkan ajaran-ajaran ini ke dalam tindakan nyata. Dengan menjalani hidup yang seimbang, toleran, dan harmonis, umat Islam dapat memberikan contoh positif bagi seluruh umat manusia dan juga memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia ini.
Planet ini asalnya diciptakan oleh Allah dengan indah dan seimbang. Namun, dampak dari kemajuan teknologi manusia dan kelakuan rakus mereka telah mengakibatkan gangguan terhadap keseimbangan alam. Negara-negara seperti Cina, Amerika, dan industri-industri global lainnya telah merusak ekosistem alam dan mengeksploitasi sumber daya demi keuntungan ekonomi dalam sistem kapitalis. Sayangnya, di dunia Islam, fokus lembaga pendidikan dan kurikulum lebih cenderung normatif daripada empiris.
Akibatnya, minimnya penekanan pada ilmu pengetahuan dan pengamatan menyebabkan kurangnya pengembangan ahli fisika dalam masyarakat Islam. Agus Mustafa dalam bukunya “Isra Mikraj Nabi Muhammad” mengungkapkan bahwa beberapa di kalangan umat Islam masih memiliki pandangan yang keliru mengenai konsep tujuh lapis langit, mengira bahwa itu adalah tangga langit yang berjenjang. Padahal, tujuh lapis langit sebenarnya mengacu pada lapisan atmosfer yang melindungi bumi dari panas matahari.
Ketidakseimbangan antara iman dan ilmu fisika juga dapat mengakibatkan penganut ateisme. Contohnya, fisikawan Jerman, Steven Howkin, dalam pencariannya tentang asal usul alam, menyimpulkan bahwa alam ini muncul dari “lobang hitam” tanpa pencipta dan tanpa konsep hari kiamat. Dalam Al-Quran, surat Al-Baqarah ayat 143, dijelaskan bahwa umat Islam adalah umat yang moderat, berada pada posisi tengah yang terbaik, dan umat pilihan. Keberagamaan yang baik bukan hanya terletak pada arah salat yang dihadapkan, tetapi juga melibatkan pengakuan terhadap nabi-nabi lain yang diutus oleh Allah.
Umat yang baik menghormati dan mengakui peran nabi-nabi ini, tidak melakukan tindakan seperti pembunuhan terhadap para nabi seperti yang dilakukan oleh bangsa Yahudi atau penyembahan berlebihan terhadap nabi seperti yang terjadi dalam beberapa kelompok Kristen.
Ciri lain dari umat yang moderat dan seimbang adalah kemampuan untuk melaksanakan keadilan. Dalam surat Annisa’ ayat 58, manusia dihimbau untuk menjunjung tinggi prinsip keadilan. Keadilan dijelaskan sebagai posisi di tengah seperti anak timbangan. Umat yang diinginkan adalah yang seimbang dalam penerapan keadilan, bahkan ketika harus mengambil keputusan dalam perkara yang melibatkan individu berstatus bangsawan atau raja. Contohnya terlihat dalam tindakan Umar bin Khattab saat memutuskan kasus Jabalah bin Aiham.
Jabalah, yang sebelumnya merupakan Raja kerajaan Ghassan dan kemudian memeluk Islam namun kembali murtad akibat hukum qisas yang diberlakukan oleh Umar bin Khattab, mengalami perlakuan adil meskipun dalam posisinya sebagai raja. Umar memerintahkan agar Jabalah diberi hukuman yang sama dengan yang diajukan oleh Jabalah kepada orang Arab yang diadukan. Dalam pandangan Islam, keadilan harus ditegakkan tanpa memandang status sosial.
Surat Al-Qasas ayat 77 juga menggambarkan bahwa umat yang moderat adalah yang seimbang dalam memprioritaskan antara urusan dunia dan akhirat. Kedua hal tersebut haruslah dijaga dengan keseimbangan. Jika salah satunya diabaikan, maka posisi umat tersebut akan terganggu. Memusatkan perhatian hanya pada urusan duniawi dapat menyebabkan terjebak dalam pandangan materialistik, sementara hanya fokus pada urusan akhirat juga bisa membuat seseorang tidak mampu beradaptasi dengan tuntutan kehidupan sehari-hari. Saat ini, situasi umat Islam cenderung mencerminkan model yang kedua, yang dimana lembaga pendidikan didominasi oleh pemikiran fikih normatif dan teologi Asy’ari. Hal ini bisa mengarah pada sikap fatalistik dan menghambat perkembangan dalam kajian empiris yang dapat mendorong kemajuan dalam industri, ekonomi, dan teknologi.
Dampaknya adalah ketidakmandirian ekonomi negara yang masih tergantung pada negara lain, serta risiko adanya kemiskinan dan kurangnya pendidikan di kalangan masyarakat.
Demikian pula dalam hal moderasi beragama dari segi moral, Al-Quran telah menggarisbawahi pentingnya keseimbangan moral dan keteguhan dalam menghadapi godaan. Firman Allah mengajarkan agar tetap teguh dan tidak tergoyahkan oleh tawaran materialistik dan godaan duniawi yang dapat mengancam iman. Kehadiran dunia yang menggoda bisa dengan mudah mengguncang keyakinan seseorang jika tidak memiliki pendirian yang kuat. Beberapa orang dengan kurangnya prinsip dan tekad teguh cenderung tergoda oleh kekayaan dan kenikmatan, sehingga mereka bisa kehilangan prinsip dan integritas. Model moderasi agama ini menyukai perilaku yang merugikan seperti korupsi dan pembalikan fakta demi mencapai tujuan dunia dan kepentingan pribadi.
Begitu juga, konsep moderasi beragama dalam konteks masyarakat plural telah diuraikan dalam Al-Quran. Masyarakat diartikan sebagai sekelompok individu yang hidup bersama dalam kerjasama untuk mencapai tujuan bersama, diatur oleh norma-norma dan aturan yang dihormati dalam lingkungannya. Sementara masyarakat plural terdiri dari berbagai etnis, budaya, dan agama. Di era global saat ini, pluralisme tidak dapat dihindari karena dunia telah menjadi seperti desa global di mana berbagai macam individu berkumpul. Di dalam masyarakat yang beragam ini, sering terjadi konflik akibat perbedaan dalam kepentingan dan keyakinan agama. Tantangan ini sulit diatasi kecuali melalui sikap saling toleransi.
Dalam menghadapi situasi semacam ini, Al-Quran menyajikan konsep “Wasathiah,” yang kini dikenal sebagai moderasi beragama. Agama dipahami bukan dalam bentuk ekstrem, melainkan dalam sikap yang ramah, damai, santun, dan harmonis. Dengan demikian, pandangan Islam tidaklah terkesan sebagai ajaran yang bermaksud berperang, kejam, atau mengerikan. Sebenarnya, jika ayat-ayat Al-Quran dikaji secara menyeluruh dan mendalam, terbukti bahwa pesan Al-Quran membawa rahmat tidak hanya bagi umat manusia, tetapi juga bagi seluruh makhluk dan lingkungan alam.
Sebagai bukti sejarah, ketika Sultan Muhammad al-Fatih dari Kekaisaran Utsmaniyah merebut kota Konstantinopel, ia memperlakukan para pendeta Kristen dengan hormat dan melindungi gereja mereka sebagai wujud penghormatan (Alatas, 2015).
Keseimbangan tercermin dalam berbagai aspek kehidupan, seperti dalam fenomena alam, etika, interaksi dalam masyarakat yang beragam, pemberian nilai pada aspek duniawi dan spiritual, serta dalam menjaga keadilan dan konsekuensinya secara moral. Bahkan, prinsip keseimbangan ini dapat ditemukan dalam surat Luqman yang mencerminkan harmoni dan keindahan dalam kehidupan. Bukan hanya Al-Quran, tetapi Hadis juga menggarisbawahi pentingnya keseimbangan.
Nabi Muhammad melarang ibadah yang berlebihan karena dapat memberatkan umat manusia. Dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, Nabi secara berulang kali memohon kepada Allah untuk mengurangi jumlah salat yang wajib hingga lima kali sehari, karena menyadari beban yang akan ditanggung oleh umatnya di masa depan. Yang terpenting dalam beribadah adalah kesungguhan yang bebas dari niat riya’ (pamer).
C. Kesimpulan
Isu mengenai moderasi beragama telah menjadi perbincangan hangat selama dekade ini. Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Agama, menunjukkan antusiasme dalam menghadapi isu ini. Konsep moderasi beragama dianggap sebagai solusi untuk meredakan kegaduhan dalam masyarakat, terutama dalam mengatasi konflik antara pemeluk beragama dan dalam kalangan mereka sendiri. Dalam konteks ini, terutama ketika mengacu pada konflik yang selama ini terkait dengan kelompok-kelompok Islam, seperti radikalisme, kekerasan beragama, dan terorisme.
Kitab suci Al-Quran dan ajaran Hadits Nabi Muhammad dijadikan panduan hidup dan acuan bagi umat Islam dalam menghadapi berbagai situasi dalam kehidupan sehari-hari mereka. Moderasi beragama, yang berarti menjalani agama dengan sikap tengah dan seimbang tanpa mengambil jalur ekstrem atau berlebihan, telah diajarkan oleh Al-Quran dan Hadits sejak beberapa abad yang lalu. Konsep ini tidak hanya berlaku dalam konteks menangani masyarakat yang beragam, tetapi juga bersifat mendalam dan universal, termasuk dalam menghadapi fenomena alam, masalah moral, serta cara bersikap terhadap dunia dan seni dalam kehidupan. Pemahaman dan penerapan prinsip keseimbangan ini penting, karena jika tidak dipahami dan diterapkan, dunia dan kehidupan manusia di dalamnya dapat menjadi kacau dan tidak teratur.
Abstrak:
Moderasi beragama merujuk pada pendekatan yang seimbang dalam pemahaman dan pelaksanaan praktik keagamaan, menghindari ekstremisme dan kelompok yang berlebihan. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengeksplorasi apakah Al-Quran dan Hadis, sebagai sumber utama bagi umat Islam, memiliki potensi untuk mendorong tindakan kekerasan dan teror terhadap penganut agama lain. Dalam penelitian ini, penulis mengadopsi metode tafsir maudhu’i, yakni mengambil suatu tema tertentu kemudian memilih beberapa ayat dan Hadis yang berkaitan dengan konsep moderasi beragama, serta menghubungkannya dengan konteks-konteks terkait yang sedang diuji.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Al-Quran dan Hadits tidak menganjurkan umat Islam untuk mengadopsi tindakan kekerasan, ekstremisme, atau perilaku berlebihan dalam beragama. Sebaliknya, Al-Quran dan Hadis menekankan bahwa pemahaman dan praktik agama seharusnya berjalan melalui jalan tengah yang seimbang. Pemahaman ini akan menciptakan kesan agama yang penuh dengan sikap kasih sayang dan kelembutan. Bahkan, konsep keseimbangan ini dianggap sebagai prinsip yang tak terhindarkan, seiring dengan harmoni yang ditemukan dalam hukum alam. Kehancuran dan bencana akan mengancam jika keseimbangan ini tidak dijaga dalam dunia ini.
Kata Kunci: Moderasi beragama, Al-Qur’an, Hadits
Abstract: Religious moderation pertains to an equitable approach in comprehending and applying religious rituals, sidestepping fanaticism and immoderate associations. The intention of this manuscript is to investigate whether the Al-Quran and Hadith, as primary sources for Muslims, possess the capability to incite violent or terroristic actions against adherents of other faiths. Within this research, the authors have adopted the maudhu’i interpretation methodology, which involves focusing on specific themes, selecting particular verses and hadiths connected to the notion of religious moderation, and linking them to the pertinent contexts under examination.
The findings of this study demonstrate that the Al-Quran and Hadith do not advocate for Muslims to engage in violent acts, extremism, or extravagant religiosity. Conversely, the Al-Quran and Hadith underscore that the understanding and practice of religion should adhere to a balanced and middle path. This perspective fosters a perception of a compassionate and gentle faith. In reality, this equilibrium is deemed an essential principle, akin to the harmonious order observed in the laws of nature. The world’s stability and integrity stand at risk if this equilibrium is not upheld.
Keywords: Moderation of religion, Al-Qur’an, Hadist
Daftar Pustaka
Akhmadi, Agus. 2019. Religious Moderation In Indonesia’s Diversity. Jurnal Diklat Keagamaan 13(2)
Alatas, Alwi. 2015. AL FATIH ” Sang Penakluk Konstantinopel”. Jakarta: Zikrul Hakim Al-Qur’an Al-Karim
Anwar, Rosihan. 2009. Pengantar Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka Setia
Ardiansyah. 2016. Islam Wasatîyah Dalam Perspektif Hadis: Dari Konsep Menuju Aplikasi. Jurnal Mutawâtir 6(2).
Mustafa, Agus. 2012. Mengarungi ‘Arsy Allah. Surabaya: PADMA Press
Qardhawi, Yusuf. 2017. Islam Jalan Tengah: Menjauhi Sikap Berlebihan dalam Agama. Bandung: Mizan
Saifuddin, Lukman Hakim. 2019. Moderasi Beragama. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
Shihab, M. Quraish. 2007. Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama Al-Qur’an. Bandung: Mizan
Truna, Dody S. 2010. Pendidikan Agama Islam Berwawasan Multikulturalisme. Jakarta: Kementerian Agama
Zamzami, Faisal. 2018. Ahli Fisika Stephen Hawking Meninggal Dunia, Sosok Ilmuwan Hebat yang Tiada Duanya.
*SMP Dharma Bakti
purirahayu22@guru.belajar.smp.belajar.is