OPINI, Jumat (05/05/2023) suaraindonesia-news.com – Berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI, maladministrasi didefinisikan sebagai perilaku melawan hukum, melampaui wewenang, menyalahgunakan wewenang untuk tujuan lain, termasuk kelalaian atau pengabaian hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara atau pemerintahan serta menimbulkan kerugian materiil dan/atau immaterial bagi masyarakat atau perseorangan.
Maladministrasi menjadi awal dari tindakan korupsi. Berawal dari tindakan yang merugikan masyarakat atau pengguna layanan publik, jika dibiarkan akan berdampak pada kerugian negara.
Akibat dari maladministrasi dapat sangat merugikan masyarakat dan mengancam stabilitas negara, karena dapat menyebabkan ketidakpercayaan terhadap pemerintah, melemahkan sistem keadilan, dan mengurangi kemampuan negara untuk memberikan pelayanan publik yang berkualitas.
Oleh karena itu, penting untuk memperkuat tata kelola pemerintahan yang baik, termasuk melalui penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku maladministrasi, serta membangun sistem pengawasan dan akuntabilitas yang kuat untuk mencegah terjadinya maladministrasi di masa depan.
Pada dasarnya maladministrasi merupakan bagian dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Akan tetapi Ombudsman RI memiliki kriteria menjelaskan bentuk-bentuk maladministrasi. Maka dari itu penting sekali bagi masyarakat untuk mengenali bentuk-bentuk maladministrasi sehingga bisa memahami maladministrasi yang terjadi pada dirinya ketika mendapatkan pelayanan publik.
Terdapat sepuluh bentuk maladministrasi menurut Ombudsman RI, berdasarkan Peraturan Ombudsman RI Nomor 48 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Ombudsman Nomor 26 tahun 2017 tentang Tata Cara Penerimaan, Pemeriksaaan dan Penyelesaian Laporan, sebagai berikut;
1. Penundaan berlarut dengan mengulur-ulur waktu penyelesaian administrasi atau masalah tanpa adanya suatu keterangan yang jelas.
2. Tidak memberikan pelayanan, masyarakat sudah melengkapi semua persyaratan yang diperlukan akan tetapi tidak ada pengerjaan atas pelayanan yang kita minta.
3. Tidak kompeten, kualifikasi yang tidak sesuai dengan tugas dan fungsi pelayanan publik.
4. Penyalahgunaan wewenang, memberikan layanan yang terhubung pada kepentingan pribadi atau kelompok lainnya dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
5. Permintaan imbalan, petugas meminta uang atau barang kepada masyarakat agar mendapatkan pelayanan yang baik.
6. Penyimpangan prosedur, pelaksana layanan tidak mematuhi standar operasional.
7. Bertindak tidak patut, bertindak secara tidak wajar, tidak sopan dan tidak pantas.
8. Berpihak, membuat keputusan atau tindakan dengan menguntungkan pihak lain sehingga berujung pada pelanggaran standar operasional prosedur yang ditentukan.
9. Konflik kepentingan, tidak dapat bekerja secara professional karena memiliki kepentingan pribadi sehingga pelayanan diberikan tidak objektif dan tepat.
10. Diskriminasi, tidak memberikan pelayanan secara sebagian atau keseluruhan kepada masyarakat karena perbedaan suku, agama, ras, jenis kelamin, penyakit, dan sebagainya.
Selama ini, hukum administrasi negara yang terdiri dari berbagai macam peraturan yang bertujuan untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pelayanan administrasi kepada publik cenderung digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingannya sendiri.
Pelayanan yang seharusnya ditujukan pada masyarakat umum, kadang di balik menjadi pelayanan masyarakat terhadap negara, meskipun negara berdiri sesungguhnya untuk kepentingan masyarakat yang mendirikannya. Artinya birokrat sesungguhnya haruslah memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.
Penulis: Wiwik Anggraeni, Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Sidoarjo Prodi Administrasi Publik
Editor: Abd. Wakid












