Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Opini

Indonesia Darurat Formalin?

Avatar of admin
×

Indonesia Darurat Formalin?

Sebarkan artikel ini
IMG 20190924 143115
Dhafir Munawar Sadat, Pegiat Anti Korupsi

Oleh : Dafir Munawar Sadat

Di layar televisi, di media sosial, kita lihat (yang katanya) wakil rakyat menari-nari. Senyum lebar, tawa pecah, seperti tengah berpesta yang tak kunjung berakhir. Sementara di sudut lain negeri ini, seorang ibu menghitung receh di warung; sekadar untuk membeli beras hari ini yang harganya kian melonjak.

Gaji anggota Dewan? Tiga juta sehari. Gaji seorang guru honorer? Tiga ratus ribu sebulan. Itu pun seringkali dicicil. Lalu siapa yang lebih pantas disebut pahlawan bangsa? Mereka yang berkeringat di kelas-kelas panas mengajar generasi negeri ini, atau mereka yang duduk di kursi empuk yang suka rapat tanpa hasil yang signifikan?

Mereka bilang, guru beban negara. Lucu! Padahal tanpa guru, tak akan ada menteri, tak akan ada presiden, tak akan ada “Dewan Terhormat.”

Dulu mereka datang mengemis suara. Janji manis: semua demi rakyat. Begitu terpilih, rakyat dibuang. Mereka seakan pesta dengan uang pajak, sementara rakyat, untuk pesta Agustusan memperingati hari kemerdekaan saja masih dengan iuran tetangga. Rakyat mengibarkan bendera, sungguh-sungguh dengan pengorbanan nyata, sementara mereka menggunakan anggaran negara yang itupun seringkali masih dicari celahnya untuk menambah kesenangan dunia. Bahkan, gak sedikit jalan mulus, Bukan karena mereka, tapi hasil urunan warga.

Baca Juga :  Koperasi Didirikan Harus Sesuai Fungsi Perkoperasian

Janji naikkan gaji guru, janji PNS-kan honorer, janji berpihak pada rakyat. Semua semakin terihat palsu. Yang nyata justru: kebijakan yang seringkali melukai, keputusan yang memukul perasaan masyarakat negeri ini.

Dan ketika dikritik, mereka marah. Lupa, mereka itu dipilih, digaji, diberi makan oleh rakyat. Gus Dur pernah bilang, Dewan itu seperti taman kanak-kanak. Mereka tersinggung. Padahal, bukankah seringkali perilakunya memang persis begitu?

Apa presiden tahu ada jeritan di bawah sini? Apa para menteri sadar, sibuk menyenangkan presiden justru membuat rakyat kian tercekik?

Kekuasaan presiden, gubernur, bupati, kepala desa; semuanya ada batasnya. Dua periode. Lalu kenapa DPR seperti tak mengenal kata cukup? Apakah mau sampai ajal menjemput di kursi itu? Padahal Indonesia ini gudangnya orang pintar, masih banyak sarjana menganggur, santri mumpuni, anak muda cerdas; yang lebih layak, lebih berintegritas, lebih punya hati.

Baca Juga :  PJ Sekda Muara Enim Sambut Kedatangan 177 Jamaah Haji dari Mekkah

Coba sekali saja, suruh anggota Dewan mengajar di kelas PAUD atau SD, Tiga jam saja. Biar mereka tahu rasanya. Biar mereka sadar, guru yang mereka sebut “beban negara” itulah yang sebenarnya menopang bangsa.

Rakyat lapar, pejabat joget. Rakyat berdesakan cari kerja, pejabat berebut kursi empuk. Rakyat menjerit, mereka seakan menutup telinga.

Kalau begini terus, jangan salahkan rakyat kalau sinis, marah, bahkan muak.

Sepertinya Indonesia memang tengah darurat. Darurat nurani. Darurat kepedulian.

Dan paling parah; Indonesia seperti darurat formalin. Segala yang busuk coba diawetkan, biar tetap tampak segar di permukaan.

Padahal, baunya sudah menusuk ke mana-mana! Bikin mual dan sesak nafas saja!

Lalu sampai kapan kami mesti mengajar sambil menahan mual dan muak? Rasanya, Ingin sekali kami menghukum murid-murid nakal yang sekarang disebut wakil rakyat itu. Mungkin dengan “jeweran dan sentilan sayang” atau menyuruh mereka berdiri dengan satu kaki di depan kelas!

Mari kita dukung program presiden kita, mumpung punyak presiden tegas dan disegani di dunia.