PATI, Rabu (22/10) suaraindonesia-news.com – Menekuni bisnis perunggasan, terutama bagi peternak mandiri (rakyat), saat ini berada di persimpangan jalan yang rumit, bahkan nyaris berada dalam kondisi kritis.
Peternakan yang notabene dikelola oleh rakyat itu, berada dalam bayang kepunahan, padahal disisi lain, mereka merupakan pilar utama penyedia daging ayam dibanyak daerah.
Pertanyaan besar menghinggapi, dimana pemerintah ketika nasib ribuan peternak ini, eksistensinya terancam karena dominasi diduga oleh korporasi integrator.
Menurut peternak unggas di Pati, Barry, bahwa pola bisnis unggas saat ini telah menciptakan sistem yang sangat tidak adil.
Perusahaan integrator, melalui integrasi vertikal yang sempurna, disebutnya pula, telah menguasai seluruh mata rantai, dari hulu hingga ke hilir, mulai dari bibit induk (GPS,PS), produksi Day Old Chick (DOC), pakan, obat-obatan hingga pemotongan dan pemasaran akhir.
“Cengkeraman ini paling terasa di segmen sarana produksi peternakan (sapronak), harga DOC, pakan dan obat-obatan yang melambung tinggi. Disuplai oleh entitas yang sama, yang juga menjadi pesaing utama peternak rakyat”, kata dia.
Ironisnya, saat harga ayam hidup di pasaran melonjak tinggi di atas Harga Acuan Penjualan (HAP) yang ditentukan pemerintah, yakni Rp.8.000 per ekor, bahkan menyentuh Rp.9.000 per ekor, lanjutnya, peternak justru kesulitan mendapatkan DOC.
“Pasokan diarahkan untuk kandang milik integrator sendiri (internal breeding) atau mitra terdekat. Akibatnya, peternak rakyat kosong berkepanjangan karena susah mendapat DOC”, lanjutnya.
Akibatnya, disaat kejayaan harga, peternak rakyat tidak bisa panen, namun disisi lain, integrator meraup untung besar.
Derita peternak rakyat tidak sebatas itu, melainkan masih dihantui tingginya beaya sapronak dan harga jual ayam hidup (livebird) jatuh di bawah harga pokok produksi (HPP).
Ini disebut bukan sekadar adanya ketidakstabilan pasar, tetapi gejala dari yang dituding sebagai struktur pasar oligopolistik, yang dimotori oleh segelintir perusahaan integrator.
Pemerintah pun dinilai ada kesan ketidak-mampuan atau ketidak-beranian dalam mengendalikan situasi ini, melalui regulasinya.
Regulasi yang mengatur adanya pemisahan usaha budidaya atau adanya pembatasan kuota, ungkap Barry, terasa tumpul. Terbukti, adanya integrator masuk ke wilayah budidaya (on-farm), melalui skema kemitraan, yang seringkali membuat rugi peternak plasma.
Ia berharap, pemerintah hadir sebagai stabilsator dan penjamin keadilan ekonomi, di tengah situasi fluktuasi harga.
Ditegaskan, kepunahan peternak rakyat, merupakan ancaman ketahanan pangan, apabila kondisi itu dibiarkan. Maka fungsi regulasi harusnya mampu menciptakan iklim usaha yang adil, bukan membiarkan mekanisme pasar bergerak liar.