NIAS SELATAN, Jumat (16/03/2018) suaraindonesia-news.com – Forum Akademisi Ononiha (FAO) Nias Selatan mendukung penuh kebijakan Pemerintah Daerah Nias Selatan untuk melarang peredaran minuman beralkohol di wilayah hukum Kabupaten Nias Selatan.
Pernyataan dukungan ini disampaikan oleh Managing Director FAO Nias Selatan, Dionisius Wau., SE., MM menanggapi beberapa pernyataan miris masyarakat Nias Selatan.
Pria yang berprofesi sebagai PNS sekaligus Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Nias Selatan (STIE Nisel) ini menghimbau semua pihak, termasuk Tokoh masyarakat agar penerbitan Peraturan Bupati Nias Selatan Nomor 04.20_33 Tahun 2017 tentang Larangan Minuman Beralkohol di Kabupaten Nias Selatan dipandang dari berbagai aspek, termasuk manfaatnya dari aspek keamanan dan ketertiban masyarakat, serta aspek kesehatan.
Kepada wartawan suaraindonesia-news.com menyampaikan, Pemda Nias Selatan berupaya menciptakan suasana yang aman dan nyaman ditengah-tengah masyarakat, dan mencegah rusaknya generasi penerus di wilayah Kabupaten Nias Selatan melalui aturan yang melarang peredaran minuman beralkohol.
Menurutnya, sangat berkorelasi kuat, antara keributan, perkelahian dan tindak pidana lainnya dengan kebiasaan seseorang mengkonsumsi minuman beralkohol tinggi.
“Coba bayangkan lah, betapa rusaknya generasi daerah ini jika minuman beralkohol tinggi menyasar kaum mahasiswa, apa daerah ini bisa bercita-cita menciptakan generasi yang cerdas dan handal?”, tutur Dionisius Wau.
Lebih lanjut, Dionisius Wau ikut mengomentari beberapa pernyataan yang menghubungkan antara Tuak Nifaro (tuak nias) sebagai warisan budaya atau leluhur masyarakat Nias Selatan dengan keputusan Peraturan Bupati Nias Selatan Nomor 04.20_33 Tahun 2017 tentang larangan minuman Beralkohol di Kabupaten Nias Selatan.
Baca Juga: Warga Nagan Ditangkap Sat Resnarkoba Abdya
“Mari kita cermati dengan baik, klausal yang diatur pada Peraturan Bupati Nias Selatan Nomor 04.20_33 Tahun 2017 tentang Larangan Minuman Beralkohol di Kabupaten Nias Selatan, dalam peraturan itu yang dilarang adalah peredaran minuman beralkohol, bukan tuak nifaro, kenapa kemudian bisa tuak nifaro (tuak nias) menjadi salah satu dari beberapa jenis minuman yang dilarang peredarannya di wilayah hukum Nias Selatan, karena tuak nifaro (tuak nias) memiliki kadar alkohol yang cukup tinggi, bahkan kadar alkoholnya sudah diluar batas standar kesehatan,” tuturnya.
Ia menegaskan, Tuak nifaro (tuak nias) nomor 1, 2 nya hanya disulut dengan mancis,api langsung menyambar, dan minuman berkadar alkoholnya diatas 75% sangat berbahaya untuk kesehatan dan keselamatan masyarakat, sehingga sangat layak untuk dilarang edar/jual.
“Sesungguhnya larangan peredaran bebas minuman beralkohol tinggi telah diatur pada Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 20/M-Dag/PER/4/2014 Tahun 2014 tentang pengendalian dan pengawasan terhadap pengadaan, peredaran dan penjualan minuman beralkohol tinggi, dan di tingkat daerah harus ditetapkan dalam bentuk Perda atau Perbup, jadi ini juga adalah amanah Undang-Undang,” lanju Wau.
Dionisius Wau juga menyinggung tentang generalisasi budaya minum tuak dikalangan masyarakat Nias, dan khususnya di masyarakat Nias Selatan.
“Saya juga kaget, kok kebiasaan masyarakat Nias Selatan di identikan dengan minuman beralkohol tinggi, seperti tuak,” ujarnya.
“Sepengetahuan saya, kultur masyarakat Nias Selatan yang cukup dikenal luas adalah makan sirih (mangafo), dan kebiasaan itu masih berlangsung sampai saat ini. Jangan kita melegitimasi budaya atau kebiasan perorangan (individu) menjadi budaya masyarakat secara umum, itu jelas bagian dari persepsi keliru, Identitas masyarakat Nias Selatan jauh dari kebiasaan mabuk-mabukkan,” tegas Dionisius Wau.
Pihaknya menghimbau masyarakat agar selektif dalam mewarisi sebuah tradisi, dalam konteks tuak nifaro (tuak Nias), ilmu meramunya mungkin bisa diwarisi, dan menjadi bagian dari historis sosiologis masyarakat Nias.
“Namun, kebiasaan perorangan minum tuak nifaro (tuak Nias) yang beralkohol tinggi tidak etis diwarisi dan Tradisi itu sudah bersifat Anakronis (tidak lagi pada zamannya),” tukas Dionisius Wau.
Reporter : Edhyr Baz
Editor : Amin
Publise : Imam













