Reporter : nor/luk
SAMPANG, suaraindonesia-news.com– Sebanyak 7 orang anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Desa Ragung, Kecamatan Pengarengan, Kabupaten Sampang, mengugat Bupati Sampang, H. A.Fannan Hasib.
Dalam surat yang beredar di media sosial, 7 orang tokoh masyarakat (tomas) di Desa Ragung itu, konon melakukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terkait pemberhentian 7 orang BPD, diantaranya, Moh Rowit, Mashudi, Zainuddin, Moh Jari, Moh Haris Sudarsono, Moh Junaidi dan Masturi.
“Iya benar, bupati Sampang sepertinya digugat warganya sendiri, itu suratnya beradar dalam salah satu group di Whatsapp,” kata inisial W salah satu warga Sampang, Minggu (12/3/2017).
Surat keputusan tata usaha negara yang menjadi objek gugatan sengketa adalah surat keputusan Bupati Sampang, H. A.Fannan Hasib, No:188.45/149/kep/434/0.12/2017 tentang pemberhentian 7 orang anggota BPD Desa Ragung masa bakti 2011-2017.
Moh. Rowit, satu dari tujuh BPD Desa Ragung, yang juga diberhentikan melalui surat keputusan bupati, mengaku sangat kecewa dengan kebijakan H.A.Fannan Hasib yang diduga hanya menerima informasi sepihak terkait persoalan yang ada di Desa Ragung.
“Melalui rapat internal BPD, kami menyepakati untuk melakukan tahapan Pilkades, namun karena masa periode BPD berakhir pada bulan April 2017 sebelum Pilkades seretak digelar, maka kami mengirimkan surat pada Bupati untuk dilakukan perpanjangan BPD, pada bulan Februari 2017 lalu, agar tidak cacat hukum saat melaksanakan Pilkades,” terangnya beberapa waktu lalu saat ditemui oleh awak media.
Ia juga menjelaskan, bahwa surat permohonan perpanjangan BPD dari Desa tersebut tidak mendapatkan respon dari Bupati Sampang, malah Bupati secara sepihak mengelurkan surat keputusan memecat 7 anggota BPD dengan alasan BPD tidak bisa membentuk P2KD.
“Pemecatan tersebut, bertentangan dengan Perda nomor 4 tahun 2006. Tentang BPD. pasal 19, setidaknya ada teguran tertulis sebanyak 3 kali, ayat 2, huruf a, selain itu bertentangan juga dengan Perbub nomor 40 tahun 2015. Tentang BPD, Bab VII, pasal 17 nomor 2, huruf g,” imbuhnya.
Dengan kondisi itu, mendapat perhatian khusus dari pakar hukum di Kabupaten Sampang. Pasalnya, langkah Bupati Sampang, dengan mengeluarkan SK perberhentian tersebut jelas akan mempengaruhi sistem demokrasi yang berada di Kabupaten Sampang.
“Sudah jelas bahwa ketidak adanya keterwakilan dari dusun tersebut mencedrai demokrasi, artinya siapa yang akan mewakili dusun itu kalau tidak ada perwakilannya,” kata Agus Andriyanto, Pakar Hukum Kabupaten Sampang.
Ia juga menjelaskan bahwa pengambilan keputusan dalam permusyawaratan perlu melalui beberapa tahapan, salah satunya adanya komposisi gasal dalam keanggotaan, sehingga mana kala suara dalam musyawarah tidak mufakat, maka langkah selanjutnya akan dilakukan pengambilan suara terbanyak.
“Sangat jauh dari rasionalisasi kalau dua BPD melakukan musyawarah mufakat, seharusnya keanggotaannya gasal,” imbuhnya.
Lebih lanjut Agus menambahkan, Permendagri Nomor 110 Tahun 2016, sudah jelas mengatur dalam pembentukan BPD itu, jadi kekosongan slot BPD ini harus dilengkapi terlebih dahulu, bukan pembiaran dan melakukan pembentukan P2KD ini, sehingga meninggalkan polemik karena mekanisme yang dilakukan sudah cacat hukum.
“Setelah dipecat seharusnya ada pengantinya, sehingga BPD bisa menjalankan tugasnya, bukan lantas memecat tanpa ada penganti dan kemudian melakukan tahapan selanjutnya,” tandasnya.