ACEH TIMUR, Rabu (14/12/2022) suaraindonesia-news.com – Sebanyak 10 warga Tj. Minje, Kecamatan Madat, Kabupaten Aceh Timur yang merupakan korban penggusuran oleh PT. KAI beberapa waktu lalu melayangkan gugatan ke PN Idi, Aceh Timur.
Pagar melintang terbuat dari seng metal mengbungkam aktititas keramaian deretan Rumah Toko (Ruko) yang terletak dipinggir ruas jalan nasional Medan-Banda Aceh di Gampong Tanjoeng Minje, Kecamatan Madat, Kabupaten Aceh Timur pasca penggusuran.
Dua buah safety sign (Papan Peringatan-red) dipajang jelas di dua tempat terpisah di bagian pagar setinggi lebih kurang delapan kaki itu. Papan informasi yang memuat larangan masuk tersebut menerangkan, bahwa tanah tersebut berdasarkan SK PT. Kereta Api Indonesia (KAI) dan Surat Kementerian PUPR serta dilengkapi ancaman Pasal 167 dan 329 KUHP.
Ada beberapa kisah dibalik areal bidang tanah yang dulunya penuh dengan pembangunan yang ditempati oleh belasan penghuninya, kini telah menjadi tanah larangan yang ditutupi pagar sepanjang sekitar seratusan meter itu. Kenapa tidak, dua puluhan kepala keluarga atau sekitar puluhan jiwa lebih yang pernah menempati tanah milik KAI dan Kementerian PUPR ini telah mengalami penggusuran mendadak beberapa waktu lalu.
Bangunan mereka dieksekusi menggunakan tangan-tangan alat berat Excavator, prosesi eksekusi bangunan-bangunan terkait, KAI diklaim tanpa mempertimbangkan kebijaksanaan terhadap belasan kepala keluarga yang telah menempati tempat tersebut selama berpuluh-puluhan tahun yang lalu. Bangunan mereka di rusak di saat pemilik rumah menempati.
Mereka menjerit histeris, tangis pun pecah diantara kawanan ratusan personil Satpol PP dan Pengawasan Keamanan Kepolisian Resort Aceh Timur. Tapi tangisan dan jeritan itu seolah tak terdengar, excavator terus merubuhkan bangunan-bangunan itu rata dengan tanah.
Begini ceritanya, pada Rabu tanggal 16 November 2022, pagi itu sejumlah personil Satpol PP yang dipimpin oleh Ampon Imran selaku Kepada Kesatuan Polisi Pamong Praja (Kasat Pol PP) Kabupaten Aceh Timur mendapat perintah mengeksekusi lahan ruko yang terletak di pinggir jalan negara perbatasan Aceh Timur-Aceh Utara.
Siang itu kegaduhan terjadi, kemacetan memanjang secara perlahan kendaraan melintasi kawasan eksekusi.
Ditempat penggusuran tak hanya Satpol PP, terlihat juga para petinggi-petinggi kepolisian Polres Aceh Timur ikut menyaksikan eksekusi bangunan, demikian pula seratusan personil Polres pun siaga.
Dan di lokasi juga terlihat Beni, ia adalah pejabat Kepala Unit Pengawasan Aset PT. KAI, katanya.
Hiruk pikuk kendaraan lewat, kesibukan para eksekutor dan tangis histeris pemilik bangunan beradu menjadi satu. Terlihat beberapa pertikaian adu mulut, ada yang sedang merusak bangunan menggunakan alat manual dan juga pria yang sedang memikul bingkisan barang seraya menangis adapula yang sedang meronta-ronta di rumahnya. Terlihat, ketidak tegaan pemilik rumah tersebut bangunannya dirusak mendadak.
Abu Bakar dan Sekeluarga Menjadi Tuna Wisma Mendadak
Miris nian nasib Abu Bakar Muthaleb (57), warga Gampong Tj. Minjee, Kecamatan Madat, Kabupaten Aceh Timur. Pria paruh baya itu merupakan satu dari belasan korban penggusuran yang bernasib paling memperihatinkan. Ia bersama ibunya yang renta Aisyah (83), seorang istri dan lima anaknya kehilangan tempat tinggal.
Ia kini menempati rumah kosong warga untuk sementara waktu, rumah itu milik sahabatnya Zulkifli masih warga Tj. Minje. Tempat itu dipinjamkan cuma-cuma, sehubungan sedang dalam kondisi kosong, sebab anaknya sedang dalam peraturan di Malaysia.
Menurut keterangan Abu Bakar, tidak jadi soal tanah ini diambil alih.
“Sebagai masyarakat miskin, kami akui bahwa kami menempati tanah KAI. Tapi penggusuran ini tanpa memperhatikan keadaan kami,” katanya membuka cerita kepada suaraindonesia-news.com bernada pilu, Rabu (14/12).
Ia menjelaskan, sejak 20 tahun yang lalu, ia sudah menempati tanah tersebut bersama keluarga kecilnya. Bangunan rumah kayu yang berisi tiga kamar tidur itu ia beli dari salah satu pengguna sebelumnya Mahmudin Ali tahun 1999 silam. Bangunan ini adalah satu-satunya kekayaan yang ia miliki selama hidupnya kini.
Naasnya, rumah seharga Rp. 4 Juta yang belinya itu harus dibongkar paksa saat, PT. KAI bertindak atas eksekusi bangunan di atas aset tanah mereka pada 16 November 2022.
“Saya bersyukur, bisa membawa anak dan istri ke rumah teman, ia mempersilahkan kami menempatinya untuk sementara waktu. Lagian anaknya sedang merantau ke Malaysia, jadi rumah ini dalam kondisi kosong,” terangnya.
“Semua material kayu juga diizinkan kami tempatkan di tanah mereka. Kini material kayu lapuk tersebut semakin rusak karena kondisi hujan. Kami tidak tau harus bagaimana lagi sekarang,” jawabnya resah.
Abu Bakar menjelaskan, keberatannya muncul karena dugaan penggusuran yang dilakukan PT KAI sarat kepentingan pihak tertentu. Dalam hal ini, Investor calon bangunan yang akan dibangun pada lokasi itu yang disebut ‘Pengembang’ turut mengambil langkah mediasi.
“PT. KAI tidak membuat kesepakatan dengan kami, penggusuran ini secara tiba-tiba. Tapi pihak pengembanglah yang terkesan mengintervensi kami untuk menerima tawaran mereka sebesar Rp. 5 Juta rupiah biaya cabut paku. Dan kami menolaknya,” lanjut Abu Bakar.
Pria yang dulu pengusaha kecil-kecilan home industry rumah tangga ini, selain tidak memiliki tempat tinggal. Namun, sejak kejadian tersebut ia mengaku tidak bisa bekerja. Ia mencemaskan kondisi keluarganya.
“Kami dulu buat kipang di rumah kami itu, sekarang udah nggak lagi,” terangnya.
Ia bersama warga tergusur lainnya mengaku tidak ada perhatian sama sekali. Bahkan, kepala desa terkait dikecam tidak bertanggung jawab atas kejadian warganya tersebut.
“Geuchik tidak peduli atas kasus ini. Jadi, kami mau melapor kemana,” timpal warga lainnya yang sengaja menjumpai wartawan media ini.
Sempat Abu Bakar meminta keringan waktu kepada pihak pengembang, dengan alasan bahan kayu rumahnya ia bongkar sendiri, agar bisa digunakan lagi.
“Yah, biarpun saya tidak memiliki sejengkal tanah pun tetap meminta keringanan waktu untuk membongkar sendiri, agar bahannya bisa dipakai dan tidak rusak. Mereka memberikan waktu satu minggu, tapi saya disodorkan selembar surat dan bersedia meneken surat pindah secara suka rela itu, saya menolaknya,” Abu Bakar menambahkan.
Alasan lain, warga ini bukan mempermasalahkan ambil alih lahan KAI dan PUPR. Namun, sebelum penggusuran terjadi, warga ini pun mengakui adanya sosialisasi dan mediasi beberapa kali dilaksanakan di kantor kecamatan.
“Pertemuan itu hanya menekan kami untuk menerima uang sebesar Rp. 5 Juta saja. Uang sebesar itu biaya bongkar saja tidak cukup. Maka kami laporkan ke DPRK agar memediasi kami,” jelas Abu Bakar, seraya diamini beberapa warga lainnya.
“PT. KAI tidak menghadiri panggilan DPRK pada tanggal 10 November 2022. Kami berharap disitulah keputusan yang diambil. Tapi nyatanya, pada tanggal 16 November 2022 sudah melakukan eksekusi,” tambahnya.
Nasib yang senada juga dialami oleh Darmiati dan empat keluarga lainya. Bedanya, ia mengaku memiliki sertifikasi kontrak sewa dengan KAI yang dibuat pada bulan November 2022, sebelum eksekusi. Akan tetapi, sebelumnya mereka dianggap aman, beberapa hari kemudian, tempat itu dikarantina menggunakan pagar dari seng metal.
“Kami memiliki sertifikat kontrak sewa, tapi kami ikut tergusur, warung kami pagari total. Kami sudah bayar setengah dari harga sewa. selama 5 tahun mendatang terhitung 2022 hingga 2027 kami telah mengontrak senilai Rp. 2,5 juta,” ungkap Darmiati.
“Mereka mendatangi kami, menyodorkan selembar surat pembatalan kontrak sewa dan sebuah amplop putih berisi uang. Namun, kami tolak, meskipun dua pemilik ruko menerima tawaran itu,” lanjutnya.
Pihak PT KAI yang mendatangi Darmiati itu disebutkan bahwa mereka menjanjikan, jika mereka bersedia membatalkan kontrak, maka sewa selama tiga tahun akan diberikan kepada mereka. Atau mereka akan direlokasikan ke tempat lain.
“Secara lisan mereka menyampaikan akan mengistimewakan kami yang terikat kontrak sewa. namun, dimana tempat relokasi itu tidak diberitahukan. Jangankan yang lisan, yang sah saja mereka ingkari. Kami hanya mau tempat kami saja selama masa kontrak,” cetusnya.
Sebelumnya, Pelaksana Tugas Kepala Bagian Aset PT. KAI, Beni, yang langsung mengawasi pelaksanaan eksekusi belasan rumah toko yang telah dihuni bertahun-tahun yang lalu menyebut, penggusuran terkait telah dilalui tahap-tahapan mediasi.
Pihaknya juga telah melakukan sosialisasi dan pemberitahuan. Selain PT. KAI, penggusuran ini juga dilakukan oleh pemerintah.
“Kami berkolaborasi dengan pemerintah, sebagian milik KAI, sebagian lagi tanah ini milik PUPR,” kata Beni, pada wawancara beberapa waktu lalu.
Beni menjelaskan, berbagai mediasi telah dilaksanakan, namun penghuni tanah itu enggan menerima tawaran pihak pengembang sebagai ganti rugi.
“Sosialisasi satu terjadi datelock, sosialisasi dua juga datelock, karena hal ini terjadi maka surat pemberitahuan kami gugurkan,” terangnya saat penggusuran silam.
Kini, sebanyak 10 warga korban penggusuran telah melayangkan gugatan kepada Pengadilan Negeri (PN) Aceh Timur melalui Kuasa Hukumnya, Yusrizal, dan akan menggandeng dua pengacara lainnya Teuku Syahrul Azmi, dan T. Tahjul Ramadhan.
“Benar sekali, kami telah diberikan kuasa oleh pihak pertama yaitu penggugat atas kasus ini. Besok (15/12/2022) sidang perdana,” ujar Kuasa Hukum Penggugat, Yusrizal, melalui selularnya, Rabu (14/12).
Gugatan dilayangkan untuk PT. KAI Persero perwakilan Langsa, Hery Syahputra (Pengembang), Pemkab Aceh Timur cq Satpol PP, Kapolres Aceh Timur, PLN Pantonlabu, Dirjen Bina Marga Balai Pelaksanaan Jalan Nasional Aceh Satuan Kerja Pelaksanaan Jalan Nasional Wilayah I Propinsi Aceh, Camat Madat dan Kepala BPN Aceh Timur.
Hingga berita ini ditayang, wartawan belum mendapatkan konfirmasi resmi dari pihak tergugat atas kasus ini.
Reporter : Efendi Noerdin
Editor : M Hendra E
Publisher : Nurul Anam













