Penulis : Wahyuandi
Wartawan Suara Indonesia News
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia telah menetapkan tanggal pencoblosan Pemilihan Umum (Pemilu) serentak, yaitu jatuh pada 17 April 2019 mendatang. Pemilu 2019 dikatakan menjadi tongga’ sejarah bagi rakyat Indonesia, kenapa, karena pertama kalinya pemilihan Presiden dan pemilihan para anggota legislatif dilakukan secara serentak.
Sedikit menoleh pada pesta demokrasi sebelumnya, tahun 2014 lalu dilakukan dua pemilu, pemilihan legislatif berlangsung pada 9 April untuk memilih 560 Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Pusat dan 132 Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan para Anggota DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Setelah itu, para anggota DPR hasil pemilu itu mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden yang bertarung dalam Pilpres tiga bulan kemudian yakni pada 9 Juli 2014. Saat itu, pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang diajukan Partai PDIP-Nasdem-PKB-PKPI-Hanura yang menguasai 36.46% kursi DPR (208 dari 560), mengalahkan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang diajukan Gerindra-PAN-PKS-Golkar-PPP-PBB-PD yang menguasai 63.54% kursi DPR (352 dari 560).
Nah untuk Pemilu 2019 ini tentu akan lebih besar dibandingkan Pemilu sebelumnya. Ini merupakan pesta demokrasi Indonesia yang akan menjadi tonggak sejarah karena dilaksanakan lima jenis pemilihan dalam waktu yang bersamaan, diantaranya, Pemilihan Anggota DPRD Kabupaten, DPRD Provinsi, DPR-RI, DPD serta Presiden dan Wakil Presiden, tentu ini bukan hal yang muda.
Pemilu serentak kali ini akan menjadi warisan kebanggaan sekaligus menjadi sorotan dunia internasional, ketika Indonesia mampu melaksanakan konsolidasi politik dengan demokratis dan berintegritas dalam rangka memilih pemimpin nasionalnya.
Demi mencapai tujuan itu, tentu sangat dibutuhkan partisipasi dari segala pihak bukan hanya anggota partai politik dan masyarakat saja yang dituntut untuk taat pada berbagai ketentuan yang ada, akan tetapi juga pihak penyelenggara Pemilu yakni KPU, Bawaslu dan DKPP wajib hukumnya menunjukkan kinerja yang obyektif dan transparan.
Bukan hanya itu, tentunya fungsi dan peran pihak keamanan dalam hal ini TNI-Polri juga sangat dibutuhkan meski berada di luar lingkup penyelenggara Pemilu, namun sangat menentukan suksesnya Pemilu yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Karena potensi kekerasan serta ancaman menggunakan isu Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA) dalam politik pragmatis seperti ini akan meluas, karena komonikasi ujaran kebencian begitu marak dalam dunia sosial. Di sisi lain, masyarakat hanya sekedar menerima informasi tanpa memiliki budaya kritis untuk memilih dan menyeleksi berita tersebut.
Hilangnya budaya kristis menyebabkan masyarakat mudah digiring pada isu negatif. Dibutuhkan kesadaran bersama menjaga momentum Demokrasi tanpa adanya politik kebencian yang mengaduk SARA. Sentiment SARA yang merusak persatuan bangsa dan menyebabkan potensi bangsa ini kehilangan masa depan, karena memilih pemimpin yang tidak memiliki keutamaan publik untuk melayani rakyatnya.
Penggunaan isu SARA, seperti membuat agitasi yang menyulut sentimen dan sisi emosional sebagian masyarakat. Akibatnya, hasutan dan ujaran kebencian akhirnya membuat pemilih menjadi irasional.
Kampanye hitam dapat dilakukan melalui berbagai media elektronik, cetak, maupun internet. Ini juga termasuk situs-situs berita yang mendadak bermunculan dengan nama domain yang provokatif, tapi umumnya tidak kredibel.
Ada agenda tertentu di balik meluasnya keresahan karena sentimen dan hasutan. Harapannya, kelompok tertentu akan memetik keuntungan politik. Meski begitu, sebenarnya tidak mudah mengkapitalisasi sentimen keagamaan dan etnisitas, yang dipolitisasi demi keuntungan elektoral belaka. Argumentasi logisnya, karena masyarakat sebenarnya sudah sangat rasional dan cukup dewasa menyikapi hembusan SARA demi tujuan politik.
Isu SARA kembali mencuat dan menjadi instrumen partai, untuk merebut simpati masyarakat di tengah situasi carut-marut politik, ekonomi, dan sosial. Ini secara tidak langsung mengafirmasi kegagalan partai melahirkan figur berkualitas. Mereka kekurangan visi dan ideologi.
Defisit inilah yang membuat ruang publik menjadi korban dimanfaatkan untuk memfasilitasi ajang kampanye hitam, dengan mengakumulasi bahasan-bahasan provokatif, tendensius, saling serang, termasuk menggunakan isu SARA. Padahal masyarakat sudah jengah.
Mari sedikit menengok pemilu 1955, di mana partai-partai bisa dikatakan cukup punya ideologi dan berpihak pada masyarakat. Ada yang memperjuangkan nasib petani, buruh, sosialis, dan orang kecil. Partai waktu itu dalam konteks untuk merebut hati rakyat, dengan memperjuangkan ideologi rakyatnya. Ini dilakukan tanpa harus menyentuh dan menyalahgunakan isu SARA.
Pada situasi pemilu pertama 1955, tidak ada isu SARA untuk menyerang lawan. Partai bicara tentang program kerja. Politik masih beradab dan beretika. Malah ketika itu partai agama pun tidak berbicara agama. Partai Katolik, Partai Masyumi, semua berbicara tentang program.
Pemilu 1955 dinilai paling demokratis karena dalam berdebat, adu program dan perencanaan tetap menggunakan etika berpolitik. Meskipun mereka menggunakan partai agama, tetap mengedepankan politik akal sehat.
Isu SARA yang kembali muncul jelang pilkada 2017, lebih karena tidak adanya visi misi yang jelas peserta. Penyebab lain, tidak adanya kepercayaan diri untuk bersaing secara sehat karena mereka tidak punya solusi untuk membawa keluar dari kumparan berbagai masalah. Akhirnya, isu SARA hanya untuk membakar emosional yang potensial melahirkan konflik. Jika peserta pilkada percaya diri dan mempunyai program yang baik untuk menyejahterakan masyarakat, tak perlu menggunakan isu agama dan etnis.
Penggunaan isu SARA sudah tidak mempan. Masyarakat tidak mudah lagi terprovokasi untuk ikut-ikutan merespon lemparan isu agama dan etnis. Maka dari itu, masyarakat harus pandai-pandai menilai dan mengukur kapabilitas kandidat dari agenda perubahan yang ditawarkan, serta solusi berbagai persoalan.
Hindari kompetisi politik hasut-menghasut dan menyakiti. Akhirnya bangsa ini kehilangan harapan mewujudkan keadaban politik. Kita berharap, pemilu serentak mengutamakan nilai–nilai Pancasila dengan menjaga persatuan serta mengedepan kepentingan bangsa, bukan kepentingan kekuasan.
Partai politik punya tangung jawab moral untuk menjaga persatuan bangsa dengan mengedepankan agenda serta program, bukan politik SARA menguasai ruang publik. Saatnya tahun persatuan menjadi jiwa dari semua partai politik.