Banda Aceh, Suara Indonesia-News.Com. Dahsyatnya bencana gempa dan tsunami Aceh yang terjadi tahun 2004 silam, menyisakan beribu kisah duka bagi seluruh masyarakat Aceh khususnya, bahkan beberapa negara tetangga yang takkan terlupakan dari ingatan kita. Selain ratusan ribu korban jiwa, termasuk kehilangan harta benda dan terpisahnya dari sanak keluarga tercinta.
Mengingatnya, seperti menguak luka lama, namun tsunami merupakan bencana dari Tuhan yang bisa terjadi kapan dan dimana saja, tiada mengenal siapa yang akan menjadi korban.
Kisah pilu, juga dialami salah seorang anak korban musibah bencana tsunami dampingan Lost Children Operation “Siti Khusnul Hafifah” (14), gadis manis asal Lhoknga. Siti berkenan berbagi cerita dengan Wartawan, Selasa (9/12), di Kantor Lost Children Operation Banda Aceh.
Tidak terasa tsunami sudah sepuluh tahun berlalu. Walaupun pada saat tsunami saya masih berumur lima tahun, saya masih terbayang dan teringat bagaimana tsunami terjadi, tak bisa terlupakan bahkan akan terus terkenang sepanjang hidup saya.
“Malam itu, sebelum hari naas itu terjadi, terdengar hiruk pikuk suara kendaraan di jalan raya yang merayakan malam minggu dan juga menyambut hari minggu terakhir sebab tahun baru akan dimulai. Tidak disangka- sangka ternyata paginya terjadi gempa yang sangat hebat,” kata Siti bercerita.
Saat itu, masih kata Siti, saya baru saja masuk TK. Seperti hari-hari biasa, saya bangun pagi, mandi, dan sarapan bersama keluarga. Saya tidak menyangka bahwa hari itu menjadi hari terakhir saya sarapan dengan keluarga.
“Saat sarapan, tiba-tiba bumi bergetar menggoyangkan kursi-kursi. Ayah menyuruh kami semua untuk keluar. Sampai di depan rumah, gempa masih saja kuat. Kami panik ! Beberapa saat kemudian, saya melihat orang-orang berlarian sambil meneriaki kalau air laut naik. Kami pun berlarian sebab ayah tak punya kendaraan. Ayah berlari bersama abang. Ibu menggendong adik sambil memegangi saya,” kenang Siti dengan mata berkaca- kaca.
Tiba-tiba air laut datang. Tangan saya yang semula memegang tangan ibu terlepas, saya tidak tahu lagi ibu dimana. Begitu juga dengan ayah, adik, dan abang saya. Kami dipisahkan hempasan ombak.
“Saya tersangkut di atas pohon kelapa. Dan ketika saya melihat ke bawah, saya tidak melihat siapapun di sana. Hanya ada kayu yang terapung, seng-seng, serta beton rumah yang terbawa arus,” sebut Siti.
Kira-kira sekitar pukul dua belas siang, saya merasa sangat haus , saya berteriak. Alhamdulillah, ternyata ada yang mendengar dan menolong saya turun dari pohon kelapa.
“Meski saya kehilangan seluruh keluarga, namun hingga saat ini saya tetap bersyukur karena diberikan keselamatan. Hingga diberikan saudara-saudara yang menyayangi saya, keluarga besar Lost Children Operation Banda Aceh,” ucap Siti penuh syukur.
Kadang saya masih teringat dulu, ketika sore saya bersama abang dan adik bermain di lapangan. Kenangan itu, masih menjadi semangat hidup saya. Saya juga selalu berdoa seusai shalat, semoga ibu, ayah, adik dan abang saya mendapatkan tempat yang paling indah disana.
“Saya merindukan mereka semua, saya selalu berdoa semoga nanti kami semua dipertemukan dalam surga-Nya. Amin Ya Robal Alamin,” demikian pungkas Siti Khusnul Hafifah seorang korban selamat gempa bumi dan tsunami Aceh tahun 2004 lalu.(Reporter : Rusdi Hanafiah).