Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Opini

Rakyat Dalam Pusaran Kartel Minyak Goreng

Avatar of admin
×

Rakyat Dalam Pusaran Kartel Minyak Goreng

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi minyak goreng
Harga minyak goreng saat ini menyentuh Rp. 45.000 per 2 liternya.

Oleh: Dr. Galuh Puspaningrum, S.H., M.H. (*)

Minyak goreng sebagai salah satu bahan pokok masyarakat yang sangat penting. Beberapa bulan ini keberadaan minyak goreng menjadi polemik bagi masyarakat. Polemik tersebut dilatarbelakangi oleh kelangkaan atas ketersediaan minyak goreng dan harga minyak goreng yang cukup fluktuatif hingga mengalami lonjakan di tataran pasar.

Beberapa upaya dan kebijakan dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi kelangkaan minyak goreng, mulai dari pertama, kebijakan menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng curah, kedua, mengembalikan harga minyak goreng kemasan ke nilai keekonomian, ketiga, pemerintah akan memberikan subsidi pada minyak goreng curah yang berasal dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Dengan demikian pemerintah dalam pendistribusian dan penetapan harga minyak goreng menyerahkan pada mekanisme pasar. Apabila hal ini benar-benar terjadi maka pemerintah telah menjalankan hal yang berbeda dengan konsep ekonomi yang telah menjadi landasan dan fundamental dalam kegiatan perekonomian yaitu demokrasi ekonomi.

Jika pemerintah menyerahkan mekanisme perdagangan kepada pasar tidak akan mampu mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Hal ini tentu saja menciderai asas demokrasi ekonomi dan Pancasila. Justru dengan demokrasi ekonomi inilah yang mampu mencegah adanya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat sebagai contoh dalam perdagangan minyak goreng.

Sebagaimana difahami bahwa indonesia merupakan negara yang mengedepankan asas demokrasi ekonomi dalam segala aspek kehidupan. Disamping itu, penyelenggaraan perekonomian nasional berdasarkan asas demokrasi ekonomi yang berarti bahwa kedaulatan ekonomi berada ditangan rakyat. Landasan konstitusional demokrasi ekonomi tersurat dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 dan landasan idiil tersurat dalam Pancasila. Tujuan dari demokrasi ekonomi ialah mencegah terjadinya sistem ekonomi liberalis.

Rakyat Indonesia saat ini dalam pusaran kartel perdagangan minyak goreng yaitu hampir 50% perusahaan yang memproduksi minyak goreng telah menguasai pasar dan dengan pendistribusian minyak goreng melalui penetapan harga yang merata di pasar inilah yang seolah-olah tidak ada persaingan dengan demikian menimbulkan asumsi adanya dugaan kartel dan tying agreement antar pelaku usaha.

Sumber dari beberapa media menyatakan bahwa sebelumnya, dalam surat Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) kepada Presiden tertanggal 14 Maret 2022 disebutkan, terjadi disparitas harga yang tinggi antara minyak goreng domestic price obligation (DPO) sebesar Rp8.750 – 9.200 per liter di bawah harga pasar. Yang memicu terjadinya black market dan menjamurnya pedagang dadakan.

 

Kartel dan Tying Agreement menurut Hukum Persaingan Usaha

Kartel dan tying agreement atau perjanjian tertutup dalam hukum persaingan usaha merupakan bentuk perjanjian yang dilarang dan diatur dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha yang Sehat atau dapat disebut dengan UU No.5/1999. Yang dimaksud dengan kartel dalam UU No.5/1999 Pasal 11, bahwa Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Perjanjian tertutup diatur dalam Pasal 15 UU No.5/1999, bahwa :

Baca Juga :  Bupati Jember Peringatkan Jangan Ada Permainan Harga Minyak Goreng

(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu;

(2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok;

(3) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok: a. harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok; atau b. tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.

Dalam Pedoman Pasal 11 tentang kartel dalam UU No.5/1999 bahwa Kartel adalah kerjasama sejumlah perusahaan yang bersaing untuk mengkoordinasi kegiatannya sehingga dapat mengendalikan jumlah produksi dan harga suatu barang dan atau jasa untuk memperoleh keuntungan diatas tingkat keuntungan yang wajar. Kartel akan memaksa konsumen membayar lebih mahal suatu produk, baik itu barang mewah maupun barang-barang yang biasa diperlukan masyarakat seperti obat-obatan dan vitamin. Kartel akan merugikan perekonomian, karena para pelaku usaha anggota kartel akan setuju untuk melakukan kegiatan yang berdampak pada pengendalian harga, seperti pembatasan jumlah produksi, yang akan menyebabkan inefisiensi alokasi. Kartel juga dapat menyebabkan inefisiensi dalam produksi ketika mereka melindungi pabrik yang tidak efisien, sehingga menaikkan biaya rata-rata produksi suatu barang atau jasa dalam suatu industri. Kartel menggunakan berbagai cara untuk mengkoordinasikan kegiatan mereka, seperti melalui pengaturan produksi, penetapan harga secara horizontal, kolusi tender, pembagian wilayah, pembagian konsumen secara non-teritorial, dan pembagian pangsa pasar. Akan tetapi perlu pula kita sadari bahwa kartel yang efektif tidaklah mudah untuk dicapai. Bagaimanapun terdapat kecenderungan para pelaku usaha akan selalu berusaha memaksimalkan keuntungan perusahaannya masing-masing.

Mengutip pendapat Theodore P. Kovaleff dalam Buku Ajar Hukum Persaingan Usaha mengemukakan bahwa “Praktek kartel merupakan salah satu strategi yang diterapkan diantara pelaku usaha untuk dapat mempengaruhi harga dengan mengatur jumlah produksi mereka. Mereka berasumsi jika produksi mereka di dalam pasar dikurangi sedangkan permintaan terhadap produk mereka di dalam pasar tetap, akan berakibat kepada naiknya harga ke tingkat yang lebih tinggi. Dan sebaliknya, jika di dalam pasar produk mereka melimpah, sudah barang tentu akan berdampak terhadap penurunan harga produk mereka di pasar. Oleh karena itu, pelaku usaha mencoba membentuk suatu kerjasama horizontal (pools) untuk menentukan harga dan jumlah produksi barang atau jasa. Namun pembentukkan kerjasama ini tidak selalu berhasil, karena para anggota seringkali berusaha berbuat curang untuk keuntungannya masing-masing”.

Baca Juga :  Agroindustri Kopi Berbasis Ekonomi Sirkular

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) jauh sebelum adanya kenaikan harga minyak goreng, telah mendalami dugaan kartel minyak goreng. Ada suatu pendapat pusaran kartel menurut William R. Andersen and C. Paul Rogers III,  bahwa agar harga produk di pasar tidak jatuh dan harga produk dapat memberikan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi pelaku usaha, pelaku usaha biasanya membuat perjanjian di antara mereka untuk mengatur mengenai jumlah produksi sehingga jumlah produksi mereka di pasar tidak berlebih, dan tujuannya agar tidak membuat harga produk mereka di pasar menjadi lebih murah. Namun terkadang praktek kartel tidak hanya bertujuan untuk menjaga stabilitas harga produk mereka di pasar, tetapi juga untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya dengan mengurangi produk mereka secara signifikan di pasar, sehingga menyebabkan di dalam pasar mengalami kelangkaan, yang mengakibatkan konsumen harus mengeluarkan biaya yang lebih untuk dapat membeli produk pelaku usaha tersebut di pasar, atau dapat dikatakan tujuan utama dari praktek kartel adalah untuk mengeruk sebanyak mungkin surplus konsumen ke produsen. Oleh karena kartel menukar kompetisi dengan tindakan-tindakan yang kolutif diantara pesaing, maka dilarang dalam hukum persaingan usaha.

 

Rakyat perlu mendapat suatu perlindungan hukum

Indonesia sebagai negara hukum yang mengedepankan supremasi hukum dan menempatkan hukum sebagai panglima dengan berlandaskan pada UUD 1945 dan Pancasila. Maka segala aspek kehidupan tidak boleh menyimpang pada nilai, asas dan norma yang berlaku. Sektor ekonomi merupakan sektor penting dalam lini kehidupan rakyat yang berprofesi sebagai pelaku usaha dan konsumen. Polemik kebijakan pemerintah terhadap kenaikan harga dan pendistribusian minyak goreng serta tindakan pelaku usaha saat ini tentu memberikan akibat dan dampak buruk bagi keberlangsungan rakyat Indonesia. Dampak tersebut menghambat persaingan dan merugikan pelaku usaha serta konsumen industri dan konsumen rumah tangga.

Bentuk perlindungan hukum bagi rakyat dalam perspektif hukum persaingan usaha yaitu kartel merupakan bentuk pelanggaran terhadap UU No.5/1999 dan termasuk kategori pelanggaran berat yang kecenderungannya merugikan konsumen. Oleh karena itu negara  melalui KPPU mengoptimalkan penegakan hukum terhadap kartel minyak goreng dan KPPU berwenang memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Apabila dirasa kebijakan pemerintah dapat menyebabkan praktek persaingan usaha yang tidak sehat maka KPPU dapat memberikan masukan dan saran agar kebijakan pemerintah mencerminkan persaingan usaha yang sehat.

 

(*) Penulis adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Jember