JAKARTA SELATAN, Sabtu (18/10) suaraindonesia-news.com – Sebuah putusan pengadilan di Jakarta Selatan memicu perdebatan publik terkait pelaksanaan hak anak untuk bertemu kedua orang tuanya setelah perceraian. Dalam perkara ini, seorang ibu yang telah memperoleh hak untuk bertemu anaknya berdasarkan keputusan pengadilan justru dihadapkan pada persyaratan yang dianggap tidak wajar dan memberatkan.
Hakim ketua, Firdaus, memutuskan bahwa sang ibu diperbolehkan bertemu anaknya dengan ketentuan pertemuan harus dilakukan di rumah ayah. Ketentuan tersebut menuai kritik karena dinilai melanggar hak anak dan ibu sebagaimana dijamin dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, serta Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, anak berhak menjalin hubungan pribadi secara langsung dan wajar dengan kedua orang tuanya tanpa hambatan. Hak tersebut tetap berlaku meskipun orang tua telah bercerai.
Selain itu, kewajiban orang tua untuk melindungi, mengasuh, dan mendidik anak tidak dapat dihapuskan dengan syarat tertentu yang dapat menghambat hubungan anak dengan orang tua lainnya.
Dalam amar putusannya, hakim menyatakan:
- Menolak gugatan penggugat sebagian.
- Menyatakan gugatan selebihnya tidak dapat diterima.
- Membebankan biaya perkara sebesar Rp 298.000 kepada penggugat.
Meski putusan telah dibacakan, ketentuan mengenai lokasi pertemuan antara ibu dan anak tersebut menimbulkan kekhawatiran akan potensi pelanggaran terhadap hak anak dan ibu. Jika pihak pemegang hak asuh dalam hal ini ayah melakukan pembatasan secara sepihak, langkah hukum berupa gugatan pencabutan hak asuh dapat ditempuh.
Seorang ahli hukum keluarga dan perlindungan anak menilai, pemberian syarat yang tidak wajar seperti mewajibkan kunjungan hanya di rumah ayah, dapat dikategorikan sebagai bentuk pembatasan hak anak.
“Syarat semacam ini berpotensi menghalangi hubungan emosional antara anak dan ibu, padahal hubungan itu sangat penting bagi tumbuh kembang anak,” ujarnya.
Ahli tersebut juga mendorong agar penyelesaian sengketa dilakukan melalui jalur mediasi dengan melibatkan lembaga seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Apabila upaya mediasi tidak menghasilkan kesepakatan, maka pihak yang dirugikan berhak mengajukan gugatan baru ke pengadilan dengan dasar pelanggaran hak anak.
Putusan hakim yang diketuai Firdaus itu menuai kritik dari sejumlah pemerhati anak karena dinilai mengabaikan prinsip “kepentingan terbaik bagi anak” (the best interest of the child). Prinsip tersebut menjadi landasan utama dalam setiap perkara yang melibatkan anak di bawah umur.
Para pemerhati berharap agar lembaga peradilan lebih berhati-hati dalam menetapkan syarat pertemuan pasca perceraian, agar hak anak dan kedua orang tua tetap terlindungi secara seimbang dan sesuai amanat Undang-Undang.