JAKARTA, Minggu (9/4/2017) suaraindonesia-news.com – Siapa yang tidak kenal sosok Naumi Lania seorang aktivis anak yang saat ini menjabat sebagai Koordinator Nasional (Kornas) Tim Reaksi Cepat Perlindungan Anak (TRC PA), rupanya sebelum menggeluti dunia anak, di masa kecilnya ia selalu mendapat kekerasan dan menjadi korban kekerasan.
Ia juga terlahir dari keluarga sederhana yang serba kekurangan, 6 bersaudara ini, kesehariannya hanya makan Mie dan untuk mencukupi kebutuhan makan sehari hari dan biaya sekolahnya ia terpaksa harus membantu di gereja di Trenggalek dan membantu seorang ibu menjual pecel. Tidak hanya itu saja, ia bahkan memulung bersama adiknya.
Bahkan, usia 10 tahun pun ia setiap pagi usai shalat subuh sudah harus bergegas untuk pergi ke pasar untuk membantu ibunya.
“Ayahku pensiunan tentara dan Ibuku pembantu rumah tangga, untuk memcukupi kehidupan kami,” ujar Naumi ke suaraindonesia-news.com.
Menurutnya, karena kondisi ekonomi yang serba kekurangan, dengan terpaksa ia harus putus sekolah.

“Setelah beberapa tahun kemudian, aku hijrah dari trenggalek ke Surabaya, ada keluarga baik dan menyekolah kan aku, sampai hari ini tak kulupakan,” curhatnya.
Waktu berlalu Tuhan memberikan proses kehidupan padanya, proses alam harus ia hadapi, namun tetap ia hadapi dengan penuh kesabaran.
“Jadi selama ini, itu alasanku dulu membantu komnas anak dan pada akhirnya aku kini di TRC PA,” terangnya.
Ia juga menceritakan, bahwa sejak Tahun 2004 mulai hijrah ke Jakarta untuk mengenyam pendidikan sambil berjualan kecil-kecilan dan sempat juga menjadi pemeran pengganti dalam sebuah sinetron ditahun yang sama.
Tidak hanya itu, di Tahun 2004 juga tepat di Bulan Ramadhan dirinya diajak oleh seorang Ibu yang bernama Rostin Ilyas untuk mengunjungi rumah singga sebagai rumah anak-anak jalanan bernaung di Jakarta. Bahkan dirinya dulu pernah tinggal dirumah singgah tersebut.

“Disini (rumah singgah, red) dulu aku tinggal, tidak lama Ibu Ilyas memelukku dan ibu Ilyas banyak mengajariku tentang arti hidup yang sesungguhnya,” tuturnya.
Lanjut Aktivis perempuan dan anak ini, di Tahun 2004 juga, dirinya menjadi relawan berbulan bulan di Aceh saat tsunami yang diutus oleh Ibu Rostin dan dari situ dirinya (Naumi Lania, red) banyak belajar tentang bagaimana menghargai alam.
Tidak hanya itu, Naumi Lania adalah salah satu wanita yang memprakarsai berdirinya prasasti Angeline di Bali pada Tanggal 21 Juli 2015 yang merupakan korban pembunuhan oleh ibu tirinya (Angeline, red).
Meski begitu, dalam penandatangan prasasti tersebut tidak terdapat tandatangannya (Naumi Lania, red). Hal itu dilakukan, sebab Naumi Lania masih menghargai ibu dari salah satu pejabat tinggi di Jakarta untuk menandatangani prasasti itu.
“Aku telah menunaikan janjiku terhadap Angeline dengan mendirikan prasasti angeline sesuai janji kami, walaupun yang tandatangan bukan diri saya dikarenakan begitu rasa hormat saya terhadap seorang ibu yang lembut gemulai, akan tetapi ibu itu justru membuat air mata masyarakat Banggai Kepulauan,” ceritanya melalui telepon dengan nada sedih.
Ditambahkan Naumi, bahwa Prasasti Angeline dijadikan sebagai ikon Indonesia “Stop Kekerasan Terhadap Anak”. Walaupun Prasasti tersebut dibangun dengan tertatih tatih tanpa adanya bantuan dari pemerintah. Namun karena begitu besar rasa cinta dan sayang terhadap anak Indonesia, dirinya dan Ketum Komnas Anak, Aris Merdeka Sirait mendirikan prasasti Angeline demi anak Indonesia.
“Mungkin aku lebih beruntung dari Angeline, perjuangan demi perjuangan tim terus bekerja, lakukan deklarasi, awalnya kami bingung biaya darimana mendirikan prasasti tapi puji tuhan setiap ada niat baik pasti ada jalan,“ ujarnya.
“Semua sahabatku paham gerakan kita bukan gerakan nunggu uang tapi bagaimana mendapatkan anggaran dari donatur dengan cara yang santun, satu hal nasehat orang tua ku keduanya umi jagan sombong suatu hari engkau jadi mercusuar dunia,” tukasnya.(Zaini)