Reporter: Adhi
Surabaya, suaraindoneaia-news.com – Universitas Airlangga kembali kehilangan salah seorang putra terbaiknya. Guru Besar bidang Ilmu Penyakit Dalam sub Tropik dan Infeksi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Prof. Eddy Soewandojo, dr., Sp.PD., K-PTI, FINASIM meninggal dunia pada Kamis (2/6). Almarhum kelahiran Jakarta, 25 November 1940 itu tutup usia pada 76 tahun.
Sebelum dikebumikan di TPU Keputih Surabaya, jenazah disemayamkan terlebih dulu di Aula FK UNAIR. Sanak keluarga, kerabat, teman sejawat dan para guru besar berkumpul di Aula memberikan penghormatan terakhir, Jumat pagi (3/6).
Direktur RS UNAIR, Prof. Dr. Nasronuddin, dr., Sp.PD., K-PTI, FINASIM turut berbagi pengalaman mengenai sosok almarhum Prof. Eddy semasa hidup. Menurut Prof. Nasron, almarhum dikenal sebagai seorang guru yang baik dan jujur. Dalam bidang penyakit tropik dan infeksi, almarhum menjadi panutan karena dikenal ulet dan amat memiliki perhatian khusus terhadap permasalahan penyakit demam berdarah dengue maupun demam typoid.
Beliau juga banyak menghasilkan karya penelitian sebagai salah satu upaya menanggulangi permasalahan DBD di Indonesia. Bahkan sang profesor juga dikenal banyak berkontribusi dalam inovasi melalui uji klinis obat-obatan penyakit demam berdarah. “Yang selalu beliau tekankan adalah pentingnya upaya pencegahan DBD ketimbang mengobatinya,” ungkap Prof. Nasron.
Selain menaruh perhatian besar pada permasalahan penyakit DBD, Prof. Eddy juga dikenal menonjol dalam penanggulangan demam tifoid atau penyakit tifus. Kala itu, Prof. Eddy menjadi salah satu tokoh kunci dalam pengembangan riset pengobatan tifus pada tahun 2002 bersama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), lembaga kesehatan dari Hongkong, dan tujuh perguruan tinggi lainnya di Indonesia.
Alhasil, dengan perjuangan bersama dihasilkan sebuah terobosan obat anti-demam tifus bernama Levofloxacin. Antibiotik ini dinilai lebih unggul dibandingkan jenis antibiotik lainnya seperti kelompok Fluoroquinolone, yakni Ciprofloxacin. Levofloxacinmampu menurunkan panas lebih awal daripada Ciprofloxacin. Selain itu, efek samping seperti mual, muntah, dan gangguang fungsi hati lebih ringan daripada Ciprofloxacin. Antibiotik ini cukup diberikan selama tujuh hari namun dengan dosis cukup sekali sehari. Sehingga, lebih efektif dalam mencegah komplikasi dan memperpendek pengobatan.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Rektor III UNAIR periode 2009 – 2014 Prof. Soetjipto, dr., MS, Ph.D, pun punya pengalaman istimewa tersendiri bersama Prof. Eddy. Selain dikenal sebagai salah satu pakar penyakit tropik dan infeksi, Prof. Tjip juga mengenal Prof. Eddy sebagai guru yang menaruh perhatian cukup besar pada perkembangan kurikulum pendidikan kedokteran.
Karena sama-sama menekuni pendidikan kedokteran, salah satu yang paling dikenang dari sosok Prof. Eddy, adalah kegemaran almarhum untuk selalu berdiskusi mengutarakan berbagai pemikiran kolektif, dan berbagai inovasi perkembangan modul demi meningkatkan kualitas pendidikan kedokteran ke depan.