ACEH, Sabtu (07/01/2023) suaraindonesia-news.com – Menjadi popular tidak gampang. Namun, juga tidak mustahil. Kesuksesan selalu berada di balik usaha yang rumit. Ada kisah di balik sejarah, ada pula pengetahuan yang senantiasa yang bisa diabadikan.
Berikut merupakan sebuah reportase wartawan tentang cinema layar panggung, tetang masyarakat dengan adat terdahulu versi masa kini dan mereka yang menggeluti tentang sastra. Urban legend adalah legenda rakyat yang dimiliki oleh setiap daerah tertentu, setiap masa juga memiliki irama, warna dan aromanya tersendiri yang khas. Menariknya kisah urban legend yang diparodikan, bahkan kisah-kisah itu tidak sedikit terangkat le layar lebar.
Menarik untuk mengupas dan mengetahui sejarah kelam, karena kisah-kisah tersebut mengungkit sejarah masa lalu, etika sosial dan bahkan aspek pandang masyarakat yang berwajah masa tempo dulu.
Di Aceh secara umum, khususnya di Aceh Utara pernah ngetren di masanya kisah Ma Ruhoy. Kisah ini dinarasikan melalui sosok ibu tua yang memiliki watak pedas orang Aceh. Opera Panggung klasik yang disebut ‘Sandiwara’ ini merupakan satu-satunya penghibur rakyat di era tahun 1970 hingga 1998. Kisahnya berhenti ketika konflik panjang kembali berkecamuk di Aceh.
Ma Ruhoy menggambar tentang tekstur prinsipil dari perabadan adat yang tergerus dunia modern masa kini. Kisah Ma Ruhoy yang dilukiskan sebagai sosok perempuan beretika dan wanita Aceh antagonis dalam versi drama opera panggung.
Berdasarkan riwayat dari salah seorang seniman lokal Aceh, yang hingga kini pun seniman kocak tersebut masih eksis di dunia komedi lokalnya dan masih mempertahankan peran profesinya ini. Ia adalah Mustafa Kamal atau nama akrab panggungnya lebih melekat disapa sebagai Kuya Ali.
Di Aceh tentu sosok Kuya Ali bukanlah pria asing, Kuya Ali yang muda merupakan tokoh utama opera drama klasikal kala itu. Kepada suaraindonesia-news.com ia mulai mengisahkan awal inspirasi dari cerita Ma Ruhoy, baru-baru ini.
Mustafa Kamal muda, ketika ia masih berusia sepuluh tahun pada tahun 1970, kali pertama ia terlibat tampil di opera sandiwara Ma Ruhoy. Bersama 20 anggota tim kerja lawak panggung klasik ini, Kuya Ali belajar untuk perdana kalinya.
“Saat itu saya masih kecil, diajak bergabung. Jujur saja kami keluarga yang kurang mampu serta yatim piatu. Di sanalah peran pertama saya,” kata Kuya Ali mengawali kisahnya.
Kisah itu pun berawal dari kebutuhan sosok figur Ayah Banta, maka Kuya Ali pun terpilih dan mengambil bagian dari Ma Ruhoy.
“Kami di sana beradu acting seperti kebanyakan lawakan lainnya, kami memiliki tim yang lengkap, ada artis pengumpan ada aktor utama, ada sound background, penata acara pokoknya lengkap sebagai kru sandiwara,” lanjut pria berusia 62 tahun itu.
Sandiwara masa hitam putih itu booming, pergelaran sandiwara tersebut kala itu terbilang konser yang epik di masanya. Kuya Ali bersama sesepuh naik turun panggung seantero daerah. Dari panggung satu ke panggung lainnya, mereka nan dinanti-nantikan oleh penggemar setia kisah Ma Ruhoy.
Mereka menguasai seni dan sastra sepanjang masa, hingga saatnya semua itu hengkang ditelan kemelut. Kuya Ali bersama tokoh utama kala itu saling koordinasi dan mereka kawakan. Ada kisahnya, sandiwara itu adalah persembahan kaum elit keamanan negera untuk menghibur negeri.
TNI yang bertempat di distrik tertentu akan mengadakan sandiwara ini bekerja sama dengan warga tempat di mana sandiwara itu digelar.
Kuya Ali menyebut, lima aktor utama dalam serial panggung Ma Ruhoy, diantaranya karya terbaik nama ini tak terlupakan yakni Ahmad Harun (60) laki-laki penyandang waria sebagai figur utama Ma Ruhoy. Berikutnya, Kepala Mansur, Idawati, Muhammad Rafi, Ibnu Arhas dan Sofyan Mus.
Ahmad Harun membintangi sosok Ma Ruhoy sebagai ibu rumah tangga yang memiliki peran yang epic dan penuh kelakar. “Beliau waria, saat itu kita masih belum boleh bawa-bawa perempuan saat itu, maka beliau pria waria berperan sebagai wanita atau ibu,” kisahnya.
Kisah itu menceritakan tentang sebuah rumah tangga yang memiliki banyak cerita, yang diadaptasikan dari inspirasi perwatakan masyarakat itu sendiri.
Apalahu Saudara Bungsu Kuya Ali
Ekonomi bayang-bayang hitam yang menakutkan, lemahnya harapan labilnya iman karena faktor ekonomi. Tidak sedikit, pelaku usaha dari berbagai jurusan kerap dicemaskan dengan pengaruh ekonomi. Lebih-lebih ekonomi itu sendiri hanya melekat pada masyarakat dan tak terbina dengan baik dari pemerintah setempat.
Sebagai tulang punggung keluarga sepeninggalan orang tua, Mustafa Kamal muda tidak ingin keluarganya berantakan dan tanpa arah, ia menyadari dalam jiwa mereka mengalir darah seniman dan budayawan serta sastrawan. Dan ternyata Sulaiman atau pelawak kocak yang terkesan manja itu lebih akrab disapa Apalahu, ia adalah saudara kandungnya yang bungsu.
“Apalahu memiliki ciri khas dan dia unik. Karena ia memiliki ketertarikan terhadap dunia panggung ‘Sandiwara’. Kami tau kebutuhan ekonomi kami, keahliannya, minatnya dan kesempatan yang ada, maka Apalahu saya libatkan dalam opera,” terang Kuya Ali, melanjutkan kisah.
Dilatarbelakangi oleh faktor jiwa seniman, faktor ekonomi juga perhatian utama Kuya Ali untuk Apalahu, matanya yang berbinar dalam mengungkapkan kisah-kisah itu, terbaca sudah bahwa, terlalu besarnya cinta Kuya Ali terhadap Apalahu dan dua saudari kandung Kuya Ali lainnya.
Apalahu pun menjadi bagian dari kisah bersambung Ma Ruhoy. Sepanjang tahun 1970 hingga 1998, Kuya Ali hidup dengan bakatnya sebagai penghibur di dunia seni. Demikian apalahu yang telah sukses mengocok isi perut para penikmat sandiwara.
“Banyak kisah untuk dikenang, bak pepatah menyebut setiap masa ada waktunya, disetiap waktu ada masanya” sebut Apalahu disertai senyum di pelipisnya di tempat terpisah di sela-sela kegiatan pertunjukan opera drama musical yang diselenggarakan oleh Diba Caffee, Gampong Tanjoeng Minje, Kecamatan Madat, Kabupaten Aceh Timur, Senin 01 Januari 2023 lalu bertepatan milad berdirinya Diba Caffee.
Mujur tak dapat diraih, Petaka tak dapat ditolak. Sandiwara panggung Ma Ruhoy hengkang bersama pecahnya konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) medio tahun 1998. Kisah bersama pemerannya hanya akan menyisakan kenangan yang melekat pada generasi itu.
Huru-hara, mala petaka, porak poranda menyatu dengan hiruk-pikuk pecahkan kenyamanan dengan gelegar dentuman senjata api di mana-mana dan darah pun berhamburan. Hancur segala sendi pembangunan rakyat, tak terkecuali finansial para seniman.
Beralih ke Drama Komedi Digital
Penyesuaian diri masa konflik adalah hal yang rumit, kekerasan, penyiksaan, fitnah dan sebagainya sudah lumrah. Konflik ini juga menyebabkan kerugian besar rakyat, demikian halnya dengan para seniman ini.
Hidup penuh untung-untungan dalam nasib antara baik dan buruk, mereka juga mengalami kepailitan di bidang usaha serta lama sudah sepi job yang dialaminya. Pun demikian, memasuki tahun 2000, Kuya Ali, Apa Lahu, Bang Nasrul dan Komedian handal lainnya harus menciptakan hal baru bersama para artis penyanyi lokal Aceh.
Para pelaku seni pentas ini beralih ke Drama Komedi Digital melalui dapur rekaman, kepingan-kepingan VCD Multimedia akan menggantikan opera sandiwara. Hal itu pun sesuai dengan kebutuhan masa.
“Memasuki tahun 2000 kami kembali bangkit dan beralih ke dapur rekaman, kami menciptakan karya drama melalui dunia comedian perfilman local,” terang Kuya Ali.
Laris manis karya-karya terbaik seniman terkait, diantaranya tentang telenovela balada cinta dan bahtera rumah tangga, serial komedi era tahun 2000an. Karya-karya kaset piring ini berlangsung hingga peralihan ke dunia digital mutlat sosmed.
“Kami tetap eksis dengan karya kami, dan alhamdulillah kami masih dinanti-nantikan oleh penggemar setia, tentunya khalayak umum,” timpal Apalahu, penuh optimis.
Sepi Job Hingga Menjual Ramuan Herbal
Tidak semua karya yang tercipta mendapatkan hasil sesuai yang diterka, ada masa tertentu karya-karya seniman ini berada dibawah, kala pula memuncak diatas.
Nasrul atau Bg Nasrul, komedian gaya ala pesulap. Karakter semiris Tokoh Magician Nasional Limbad, mengenakan jas magic, peci koboi yang tak bisa jauh dari kepala menutupi rambut keriting panjangnya, Nasrul berpotensi juga menjadi penjaja ramuan herbal demi kebutuhan. Bicaranya bisa menyulap rasa penggemar.
Pun demikian, dia juga salah satu seniman yang mempertahankan kemurniannya dalam berkarier dan berprofesi. Ia dengan tegas menyebutkan, sangat menikmati karya yang bisa membuat public mempercayakan atas kehadiran dirinya tersebut.
“Kebanggaan kami, saat melihat penonton tertawa bahkan terpingkal. Itu adalah tugas kami, kesan tersebut selalu membuat kami puas,” ujar Nasrul.
Menurutnya, perkembangan seniman selayak mereka masih dibutuhkan oleh khalayak umum. “Namun, kekurangan kita adalah tidak adanya pembinaan khusus, jadi kami hadir alami semampu kami dengan konsep pribadi,” lanjutnya.
Nasrul juga terpengaruh dengan perubahan dunia digital. Era VCD hingga ke media digital sosial memberikan perubahan yang besar. Beralih ke tv digital membawa keuntungan sendiri, namun maha karya mereka jauh lebih terasa jika dilakukan secara VCD.
“Kami sekarang memanfaatkan Youtube dan Tik-Tok. Kami meraup sedikit pendapatan pada Youtube dan Tik-tok yang sama-sama kami namai Cek Nasrol Pelawak Aceh,” imbuh Nasrul seraya menyebutkan akun sosmed tersebut di kelola oleh anak lelakinya, Andi Kasanova.
Seni, sastra dan estetika budaya meredup seiring perkembangan zaman. Klasikal komedi sedikit yang menggeluti.
“Terkadang generasi muda ini berbeda dengan kami. Yang muda mengutamakan pendapatan, sedang kami berkarya dulu. Hal ini menyebabkan minat dibidang seni Aceh berkurang, karena pendapatan tidak sepadan,” terangnya.
Nasrul menyebut, dirinya sudah dua puluh tahun berkarier di entertainmen local sebagai pelawak ini. Istimewanya, ia bertahan dan tetap mempertahankan diri sebagai comedian.
Gulung Lapak Karena Kaset Dibajak
Ada lagi, jejak rekam penggelut seni menarik untuk dikonsumsi. Jatuh bangun dan jatuh lagi bangun lagi diungkapkan oleh mantan Produser music RAM Pro Music Production, Raiz Azhari. Pria aslinya berprofesi wartawan ini tak pernah jera walau banyak derita selama menjalani entertainmen lokal.
Raiz salah satu tokoh music yang mengagungkan karya seni local. Karyanya meliputi slow rock Aceh, lagu religi dan komedi drama pastinya. Lagu Naina, lirik cinta yang mengundang empaty, adalah karya lagu terbaiknya setelah album popularnya Dalong Band berwahana Religi.
“Tahun 2015 memasuki masa-masa yang sulit bagi produser music daerah, peralihan masa antara kaset VCD ke layanan Youtube telah membuat penggeliat seni Tarik suara kocar kacir, dimana karya-karya mereka dibajak di replikasi kemudian diedar luaskan dengan harga murah,” kata Raiz yang kerap disapa Prof. Yono ini.
Penggunaan alat canggih, seperti tablet, android dan jenis alat elektronik mutakhir itu katanya telah melenyapkan produksi mereka. Gulung lapak karena kaset-kasetnya dibajak oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
“Kami tumbang seketika. Karya kami yang kami anggap emas, malah tidak berharga sama sekali, hak cipta kami tidak ada artinya,” sebut Raiz.
Para pembajak, memperbanyak copy paste karya seniman yang indah milik orang lain, pembajak membakar VCD dengan quota MP3 dalam space ratusan lagu dari beragam karya cipta. VCD MP3 tersebut laris manis, sehingga para penggeliat seni ini hanya tertunduk karena terkalahkan, karya mereka beredar bebas secara illegal.
“Ada juga yang diupload secara resmi di Youtube dan Tik-Tok tanpa hak cipta, hal ini menyebabkan banyak produser yang mengalami rugi besar,” tukas Raiz.
Mereka masih eksis, hingga apapun yang mereka alami masih tetap berkarya. Unsur budaya tersematkan dari karya-karya itu, sayangnya kultur daerah belum ada dukungan pemerintah terkait yang mengakui keberadaannya dari sejarah kelam masyarakat adat-istiadat dan berbudaya luhur.
Penulis: Efendi Noerdin
Editor: Wakid Maulana
Publisher: Nurul Anam