Oleh: Khalil Abdul Jalil
Hasil Bahtsul Masail MUNAS alim ulama NU tahun ini fenomenal, utamanya tentang Istilah Kafir bagi Non Muslim. Pro kontra Netizen bertebaran di Media Sosial. Banyak yang setuju karena menganggap itu luarbiasa bahkan lompatan besar dalam mengisi kekosongan fiqh siyasah tapi tidak sedikit pula yang kontra dengan berbagai alasannya. Dan yang lebih penting lagi, tulisan ini tidak ada apa-apanya karena Maha benar Netizen atas segala komentarnya!
Saya ingin melihat hasil Munas di sini dari sudut pandang ushul fiqh, dengan pendekatan qaidah lughawiyah dan qaidah fiqhiyah. Dalam memahami teks ada empat pendekatan kebahasaan yang bisa digunakan untuk memahami teks, salah satunya adalah Isyaratunnash.
Isyaratunnas adalah makna yang dipahami tidak secara langsung dari redaksi teks. Bisa dikatakan, Isyaratunnash adalah makna yang disimpulkan sebagai konsekwensi logis/turutan dari teks bukan redaksi teks itu sendiri.
Saat seseorang mengatakan membuat rumah, maka ada konsekwensi yang pasti dilakukan/disiapkan, yaitu penyiapan tukang, bahan bangunann dll. Jadi pernyataan membuat rumah adalah masuk di dalamnya membuat denah, mengumpulkan dan mempekerjakan tukang dan menyiapkan bahan-bahan bangunan.
Penerapan Isyaratunnash dalam memahami ayat al-Qur’an bisa dilihat dalam QS. al-Baqarah 233:
وَعَـلَى الْمَوْلُوْدِ لَــهُ رِزْقُــهُـنَّ وَكِـسْـوَتُهُـنَّ بِالْمَعْـرُوْفِ
Makna yang ditangkap dari ayat ini dengan pendekatan redaksi (Ibaratunnash) adalah bahwa Ayah (suami) wajib memberikan nafkah dan pakaian untuk isteri-isteri mereka. Sedangkan melalui pendekatan isyaratunnash, dapat dipahami bahwa anak adalah konsekwensi logis dari pernikahan sehingga ayah adalah satu-satunya yang wajib menafkahi, dan karenanya pula dinasabkan kepada ayahnya (dilahirkan untuknya) bukan kepada ibunya.
Berbicara hasil Bahtsul Masail Munas NU tentang tidak perlunya penyebutan Kafir kepada non Muslim dalam konteks kewarganegaran apabila dibaca dengan pendekatan Isyaratunnash, kesimpulannya sudah tepat. Kenapa demikian? Karena penyebutan kafir dalam konteks negara bangsa walaupun secara aqidah masih termasuk kategori kafir sudah tidak relevan lagi.
Dengan pendekatan ushul fiqh, Menerima Indonesia sebagai Negara Bangsa adalah Ibaratunnash, dari penerimaan ini memiliki konsekwensi-konsekwensi logis dari konsep Negara Bangsa, salah satunya adalah hilangnya status kafir dalam kewarganegaraan. Nah, hilangnya status Kafir dalam konteks negara bangsa inilah yang dimaksud sebagai Isyaratunnash.
Dalam qaidah fiqh disebutkan
الرضا بالشيء رضاً بما يتولد منه
Artinya: Ridha dengan sesuatu berarti ridha dengan konsekwensi yang ditimbulkannya. Dalam konteks ini, Menerima Indonesia sebagai negara Bangsa berarti menerima hilangnya status Kafir, karena kafir dengan berbagai kategorinya seperti Harbi, Dzimmy, Musta’man, Muahad konteksnya adalah negara Islam Negara Islam, jadi tidak bisa dilekatkan kepada penduduk non-Muslim Indonesia.