Kiai Ahmad Shiddiq, Perumus Pondasi Hubungan Pancasila dengan Islam

oleh -408 views
Kiai Afif menjelaskan tentang perjuangan KH. Ahmad Shiddiq . (Foto: Guntur Rahmatullah)

JEMBER, Minggu (25/8/2019) suaraindonesia-news.com – Wakil Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo KH. Afifuddin Muhajir menceritakan sejarah KH. Ahmad Shiddiq yang telah berhasil merumuskan pondasi hubungan Pancasila dengan Islam.

Ahmad Shiddiq terpilih menjadi Rois Amm PBNU dalam Muktamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo. Kiai Afif lantas mengutip sepenggal isi pidato yang disampaikan oleh KH. Ahmad Shiddiq usai ditetapkan sebagai Rois Amm PBNU waktu itu, isi pidato ini menurutnya sangat berkesan bagi umat Islam Indonesia khususnya Nahdliyin.

“Dengan demikian, Republik Indonesia adalah bentuk upaya final seluruh nation (bangsa), teristimewa kaum muslimin, untuk mendirikan negara (kesatuan) di wilayah Nusantara. Para Ulama dalam NU meyakini bahwa penerimaan Pancasila ini dimaksudkan sebagai perjuangan bangsa untuk mencapai kemakmuran dan keadilan sosial,” tutur Kiai Afif, salah satu narasumber dalam seminar pengusulan KH. Ahmad Shiddiq dan Letkol. Moh. Sroedji sebagai Pahlawan Nasional di Pendopo Wahyawibawagraha, Minggu (25/8) pagi.

Dari sepenggal isi pidato tersebut, Kiai Afif menerangkan, ada tiga poin penting dalam pernyataan KH. Ahmad Shiddiq tersebut. Pertama, negara bangsa (nation state). Penerimaan para kiai yang mumpuni dalam ilmu agama dan mempunyai jiwa nasionalisme tinggi terhadap bentuk negara bangsa mempertegas bahwa Indonesia dengan mayoritas beragama Islam bukanlah negara agama, tetapi negara bangsa yang memegang teguh nilai-nilai agama berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sila pertama dalam Pancasila.

“Kedua, negara kesatuan di wilayah Nusantara atau dengan istilah lain Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kalangan pesantren, santri dan kiai berkomitmen tinggi dalam menjaga keutuhan NKRI ini. Sebab Indonesia didirikan di atas pondasi keberagaman atau kemajemukan bangsa,” jelas Kiai Afif.

Semangat memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia menjadi pondasi kokoh bagi para ulama untuk terus menjaga dan merawat perjuangan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasar Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan UUD 1945. Cinta terhadap tanah air Indonesia bukan semata cinta buta, tetapi cinta yang dilandasi agama. Bahkan, Fatwa Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 menyatakan dengan tegas bahwa membela Tanah Air merupakan kewajiban agama.

Dalam menjaga NKRI tersebut, NU sebagai jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah (organisasi sosial keagamaan) seperti dipertegas KH. Ahmad Shiddiq di atas, bukan ’penjaga biasa’, melainkan memperkuat dan merajut berbagai elemen bangsa untuk menyadari bahwa cinta tanah air merupakan salah satu upaya aktualisasi nyata keimanan seseorang. Sehingga cinta tanah air berlaku untuk seluruh kaum beragama di Indonesia. Ini dicetuskan langsung oleh pendiri NU KH Hasyim Asy’ari yang menyatakan, hubbul wathani minal iman (cinta tanah air adalah sebagian dari iman).

Ketiga, penerimaan Pancasila oleh NU untuk mencapai kemakmuran dan keadilan sosial. Ada dua catatan sejarah penting dalam Muktamar NU 1984 di Situbondo, ialah NU kembali ke Khittah 1926 dan penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal organisasi. Penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal ini pertama kali dilakukan oleh NU. Bukan semata menyukseskan program rezim Orde Baru, tetapi lebih kepada misi bahwa Pancasila sebagai konsensus kebangsaan perlu dipertegas menjadi pondasi kokoh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk mencapai kemakmuran dan keadilan sosial seperti yang dimaksud KH. Ahmad Shiddiq.

“Dengan demikian, Kiai Ahmad Shiddiq itu sudah seorang pahlawan, dengan sejarah ini beliau berhak mendapatkan gelar pahlawan nasional,” tegasnya.

Seminar ini diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Jember untuk menyosialisasikan perjuangan KH. Ahmad Shiddiq kepada masyarakat, sebagai rangkaian proses pengusulan gelar pahlawan nasional bagi beliau.

“Seminar ini bertujuan untuk mendapatkan fakta sejarah yang lebih banyak lagi dari narasumber maupun dari peserta seminar untuk mengkaji rekam jejak Kiai Ahmad Shiddiq dan Letkol. Infanteri (Anumerta) Mohammad Sroedji dalam perjuangan melawan penjajah di masa lalu,” terang Bupati Jember, Faida dalam pidato sambutannya.

Selain Kiai Afif, narasumber lain dalam seminar tersebut ialah Kasbrigif Raider 9 Kostrad Letkol. Inf. Arif Munawar yang menerangkan sejarah kepahlawanan Letkol. Inf. (Anumerta) Moh. Sroedji dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia.

Seminar ini dihadiri oleh tim pengusul dari P3KIK LP3M Universitas Jember, para tokoh agama, para santri, para mahasiswa perguruan tinggi, para veteran dan para pengurus ormas.

Reporter : Guntur Rahmatullah
Editor : Amin
Publisher : Mariska

Tinggalkan Balasan