ACEH UTARA, Kamis (31/07) suaraindonesia-news.com – Nasib miris sebanyak 525 jiwa warga desa non status Gampong (desa-red) Alue Tingkeum Kecamatan Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara masih belum ada kejelasan. Pemerintah daerah setempat bungkam dan menghindari konfirmasi wartawan.
Katanya, Pemerintah Kabupaten Aceh Utara melalui Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Gampong (DPMG) kabupaten itu sedang mengkaji dan menelusuri keabsahan data faktual yang disampaikan oleh pihak desa Alue Tingkeuem. Data ini memuat informasi bahwa Alue Tingkeuem adalah desa yang resmi sebelumnya dan kemudian dihapus pada medio 2014 lalu. Naikalias Sadakata S. Sos disebut eks Camat Lhoksukon diduga sebagai biang penghapusan legalitas desa tersebut.
Pun demikian persoalan Gampong Alue Tingkeum belum ada kepastian, pemerintah Kabupaten Aceh Utara belum menyampaikan secara resmi terkait apa yang sebenarnya terjadi dengan desa yang memiliki 124 Kepala Keluarga tersebut, yang kini tidak memiliki identitas desa yang jelas.
Baik badan eksekutif maupun badan legeslatif Kabupaten Aceh Utara masih sukar untuk dimintai keterangan. Serentak para pejabat setempat seperti sengaja menghindari kontak person dengan wartawan yang mencoba konfirmasi apapun tentang perkembangan Pembangunan di kabupaten terkait.
Bupati Aceh Utara, Dinas yang bersangkutan, ketua Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Utara tidak menggubris pertanyaan wartawan. Demikian pula ketua Komisi I DPRK setempat yang membidangi perkara ini mengabaikan konfirmasi.
Menanggapi hal ini, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Advokasi Nusantara Untuk Keadilan Rakyat angkat bicara. Angkara secara resmi mempertanyakan kejelasan status Desa Seuneubok Alue Tingkeum (Alue Tingkeuem) tersebut kepada pemerintah kabupaten.
LBH Angkara meminta Pemerintah Kabupaten Aceh Utara segera merespon secara resmi terkait dugaan penghapusan desa yang bersangkutan. Angkara menduga jika penghilangan identitas desa tersebut dari struktur administrasi desa dilakukan secara sepihak dan tanpa adanya Peraturan Daerah (Perda) yang sah sebagai dasar hukum.
“Penghilangan nama Desa Seunubok Alue Tingkeum dari dokumen administrasi pemerintahan yang diduga dilakukan pasca perdamaian tahun 2005, hal ini telah menimbulkan kebingungan dan kerugian bagi masyarakat setempat,” kata ketua LBH Angkara, M. Azhar.
“Kami menerima banyak keluhan dari warga. Mereka merasa identitas desanya dihilangkan begitu saja. Padahal, secara historis dan administratif, desa ini sudah ada sejak lama dan memiliki dokumen lengkap seperti KTP, KK, dan sertifikat yang mencantumkan nama desa tersebut,” lanjut M. Azhar dalam siaran persnya, Kamis (31/7/2025).
Lebih lanjut, LBH Ankara menilai bahwa jika benar penghapusan itu dilakukan tanpa Perda, maka hal tersebut merupakan tindakan inkonstitusional dan bentuk mal administrasi serius. Merujuk pada ketentuan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, disebutkan bahwa pembentukan, penggabungan, penghapusan, atau perubahan status desa hanya dapat dilakukan dengan Peraturan Daerah dan harus melibatkan partisipasi masyarakat.
“Kami menduga bahwa penghapusan ini dilakukan secara diam-diam, dan tanpa adanya musyawarah dengan masyarakat dan tanpa regulasi yang sah. Ini merupakan bentuk pengabaian terhadap asas transparansi dan partisipasi dalam pemerintahan, dan siapapun itu harus bertanggung jawab,” tambah Azhar.
Akibat dari penghapusan status desa tersebut, berdampak pada warga yang hampir 130 Kepala Keluarga yang bermukim di wilayah itu mengalami hambatan dalam mengakses layanan publik, seperti bantuan sosial, pengurusan dokumen, hingga pembangunan infrastruktur.













