Reporter : Tim/Mdr
Bangkalan, suaraindonesia-news.com – Pembebasan lahan di kawasan Suramadu pada tahun 2015 lalu terus mendapatkan kritik dari masyarakat. Setelah dikritisi oleh Anggota DPRD Jawa Timur dan bebera aktifis muda Bangkalan karena harganya yang dinilai terlalu tinggi, kini tidak Tokoh Masyarakat Kecamatan Labang, Ha’i Molabama selaku ketua Forum Masyarakat Labeng (FORMAL), turut mengkritisi pembebasan lahan yang dilakukan Badan Pelaksana (Bapel) BPWS itu.
“Sitem konversi yang dilakukan dari pemilik pertama kepada pemilik kedua itu bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960”, ujar Ha’i Molabama saat diwawancarai di kantornya (25/04).
Lanjut Hai Molabama, perubahan dari pemiliki tanah yang pertama kepada Pihak kedua yang kemudian menerbitkan Sertfikat Hak Milik (SHM), ketika dibebaskan, menggunakan sistem konversi yang dalam sistem tata hukum agraria sudah tidak bisa digunakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Bukan persoalan harga, namun sistem konversi itu yang menjadi masalah utamanya, karena secara nyata merugikan negara menyebabkan hilangnya potensi pendapatan pajak yang seharusnya diterima oleh Negara”, jelas Ha’i.
Ditegaskan Ha’i, berdasarkan ketentuan UU Pokok Agraria dan Undang-Undang Pajak, maka dalam proses pembebasan lahan yang dilakukan tahun 2015, terjadi kerugian Negara yang secara telanjang dilakukan secara kolektif oleh para spekulan tanah di kawasan Suramadu sisi Madura.
“Ini harus ditindak-lanjuti oleh aparat penegak hukum, seperti Kepolisian dan Kejaksaan”, pungkas Hai Molabama.













