DR Hufron : Kekosongan Jabatan Itu Diisi Plt, Bukan Pejabat Definitif

oleh -272 views
DR Hufron dari Untag Surabaya

LUMAJANG, Selasa (29/5/2018) suaraindonesia-news.com – Tim Ahli, DR Hufron menerangkan bahwa pada Pasal 71 ayat 2, UU No 10 tahun 2016, pada aturan pejelasannya dirinci bahwa dalam hal terjadi kekosongan jabatan, maka “Gubernur, Bupati, dan Walikota menunjuk pejabat pelaksana tugas.

Menurut Hufron yang dimaksud dengan “penggantian” adalah hanya dibatasi untuk mutasi dalam jabatan, bukan demosi atau promosi jabatan, dan jika hal itu dilakukan, maka sudah termasuk pelanggaran.

Dan ketetuan mutasi ini, kata Hufron hanya diperuntukkan bagi kepala daerah yang sedang menjabat (petahana) dan ingin kembali mencalonkan diri jadi kepala daerah untuk periode  berikutnya.

“Pada Pasal 71 ayat 2, UU No 10 tahun 2016 tersebut merupakan ketentuan yang bersifat Imperatif (memaksa). Uraian pasal dan penjelasaan ketentuan ini hanya membolehkan mutasi dalam 2 (dua)  hal yaitu atas izin menteri dalam negeri atau terjadi kekosongan jabatan,” paparnya.

Baca Juga: Wujudkan Ketaqwaan Dengan Berbagi Di Kampung Mualaf Argosari

Dan diungkap Hufron, bahwa penggantian jabatan itupun karena kekosongan jabatan, syaratnya pejabat pengganti yang diangkat adalah pejabat sementara atau pelaksana tugas bukan pejabat definitif.

“Sebab jika pejabat pengganti jabatan yang kosong itu diangkat secara permanen, maka juga melanggar ketentuan Pasal 71, UU No 10 tahun 2016,” ungkapnya.

Sesungguhnya landasan teleologis dari pasal ini, menurut pakar ahli dari Universitas Tujuh Belas Agustus (Untag) ini, menyatakan agar calon selaku petahana tidak menggunakan wewenangnya sebagai pemilik kekuasaan untuk mengintimidasi, memberikan rasa takut, memberikan efek kecemasan bagi ASN dalam melaksanakan hak pilihnya berdasarkan hati nuraninya.

“Petahana dalam melakukan mutasi tidak menggunakan kewenangan dalam mencari suara untuk memilihnya dan atau melarang PNS untuk memilih calon lain,” ujarnya.

Seharusnya, menurut Hufron petahana wajib menciptakan stabilitas pemerintahan dalam lingkup Pemkab Lumajang. Dan wajib mencegah itikad buruk bagi calon selaku petahana untuk menyalahgunakan kekuasaannya melakukan hal-hal yang menguntungkan baginya dalam pemilihan kepala daerah, poin ini biasanya disebut fungsi preventif.

“Sangat jelas ganjaran atas perbuatan mutasi yang dilakukan oleh petahana adalah sanksi administrasi berupa pembatalan sebagai calon kepala daerah sebagaimana yang digariskan dalam Pasal 71 ayat 5, UU 10 Tahun 2016 yang berbunyi “Dalam hal Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota”,” terangnya lagi.

Pernyataan di atas sangat jelas, bahwa yang memberikan sanksi atas perbuatan petahana melakukan mutasi adalah KPU.

Sanksi administrasi berupa pembatalan sebagai calon harus dimaknai menjadi dua hal, yang pertama, bakal calon yang berstatus petahana dan telah melakukan mutasi sebelum penetapan calon maka yang bersangkutan dinyatakan tidak memenuhi syarat sehingga tidak ditetapkan sebagai calon, aturan teknis ini dipedomani Pasal 87 a ayat 1 sampai 3 PKPU No 9 Tahun 2016.

Kedua, yaitu petahana yang telah ditetapkan oleh KPU sebagai calon dan melakukan mutasi sebelum atau saat menjadi calon maka yang bersangkutan dibatalkan sebagai calon (peserta Pilkada), aturan teknis mengenai hal ini juga dapat ditemui dalam Pasal 88 PKPU No 9 tahun 2016.

“Kedua aturan tersebut harus memenuhi beberapa unsur, seperti jumlah ASN harus sesuai, nomenklatur jabatan ASN harus jelas dan tepat, petahana harus melakukan mutasi (selevel jabatan) bukan demosi (turun jabatan) atau promosi (naik jabatan),” pungkasnya.

Reporter : Achmad Fuad Afdlol
Editor : Panji
Publiser : Imam

Tinggalkan Balasan