Reporter : Iran G Hasibuan
Bogor, Suara Indonesia-News.Com – Direktur PT. Elben Bangun Rajawali Perkasa (EBRP), selaku kontraktor mengeluarkan ultimatum akan melaporkan Direksi PT. Tajur Surya Abadi (TSA), pengembang Royal Tajur Residence (RTR) Bogor. PT. EBRP sebelumnya telah menggugat Direksi PT. TSA secara perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
“PT. EBRP telah menggugat secara perdata di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta selatan yang kini dalam proses persidangan Perdata. Kini PT EBRP akan mengugat secara pidana dan segera melaporkan ke Polres Bogor Kota secepatnya,” kata Direktur PT EBRP, Nelson Sagala dalam keterangan Pers di komplek Balaikota Bogor, Jumat (04/03/2016).
Menurut Nelson, perbuatan Direksi PT. TSA secara terang terangan menzolimi kesepakatan kerja yang dibangun mereka dan acapkali memutuskan hubungan kerja secara sepihak. Akibatnya, pihak PT. EBRP dirugikan hingga Rp 1,7 Miliar. Padahal sebelumnya pengembang RTR sendiri telah menerbitkan Surat Perintah Kerja (SPK) namun dihianati.
“Setiap kontraktor yang melaksanakan pekerjaan di perumahan Royal Tajur Residence, seperti pembangunan rumah maupun pengerjaan dinding turap yang disepakai juga tak dibayar dan tidak dilengkapi perjanjian kontrak kerja,”jelas Nelson.
Sehingga kata Nelson, PT. TSA dengan seenaknya melakukan pemutusan hubungan kerja tanpa membayar sesuai SPK yang diterbitkan.
“Termasuk menerapkan denda keterlambatan tiga permil dari batas kontrak tanpa batas waktu,” imbuh Nelson.
Dengan alasan itu, PT. EBRP akan segera melaporkan PT. TSA ke kepolisian terkait pidana yang dilakukan, demi tegaknya hukum. Kontraktor dijanjikan akan diberikan kontrak kerja guna mengatur spesipikasi pekerjaan, masalah detail pemberlakuan denda dan sebagainya. Termasuk Force meajure (Keterlambatan akibat kondisi alam-red).
“Bagaimana pemutusan kontrak sedangkan kontrak kerjanya saja tidak ada, ini masuk dalam pasal pidana, penipuan dan penggelapan,” papar Nelson.
Menurut dia, peraturan LKPP 14/2012 besarnya denda keterlambatan yakni 1/1000 dari harga bagian kontrak yang tercantum dalam kontrak yang belum dikerjakan. Apabila bagian pekerjaan dimaksud telah dilaksanakan, besarnya denda maksimal 5 persen dari nilai kontrak.
Anehnya, pengembang RTR mendenda kontraktornya dengan sangat tidak mendasar karena Pihak kontraktor tidak pernah diberikan Kontrak Lumpsun seperti yang tertuang dalam SPK yang ditandatangani oleh kedua belah pihak. Sehingga Developer PT. TSA dapat dikategorikan sebagai depelover nakal.
“Dari 9 SPK Housing ( pembangunan rumah ) yang ditanda tangani, hanya 6 SPK yang diputus Kontrak kerjanya dan 3 SPK lainnya diserahkan pada Pihak ke-III tanpa pemberitahuan. Padahal pekerjaan sudah selesai 100 persen,”jelas Nelson.
Masih menurut Nelson, PT EBRP meminta Surat Berita Acara Serah Terima Satu (BAST-1), hanya satu diantaranya yang di akui PT. TSA sebagaimana dijelaskan mantan Kadiv.Teknik PT TSA, Benny W Susilo di persidangan PN Jaksel Pebruari lalu.
Sementara Project Manager Royar Tajur Residence, Yendi saat dikonfirmasi mengungkapkan, terkait permasalahan yang menyangkut PT. EBRP sepenuhnya sudah diserahkan kepada tim pengacara, dan permasalahan itu sedang berjalan di PN Jakarta Selatan.
“Langsung ke lawyer kita aja di pengadilan ya,” singkatnya melalui pesan WhatsApp (WA) kepada wartawan.

