JAKARTA, Selasa 14/10) suaraindonesia-news.com – Pembina Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) dan Pembina Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak Indonesia (TRC PPA), Bunda Roostiningsih atau Rostine Ilyas, menyoroti fenomena ketimpangan sikap pemerintah dalam menegakkan prinsip toleransi dan keadilan di Indonesia.
Hal itu disampaikan Bunda Roostiningsih saat menanggapi langkah cepat pemerintah setelah peristiwa ambruknya salah satu pondok pesantren di Sidoarjo, Jawa Timur. Menurutnya, respons cepat tersebut patut diapresiasi, namun perlu disertai dengan kepekaan yang sama terhadap persoalan lembaga keagamaan lainnya.
“Melihat pemerintah langsung turun tangan setelah pesantren ambruk adalah hal baik. Itu bentuk kepedulian negara terhadap lembaga pendidikan Islam yang menjadi benteng moral bangsa,” ujarnya.
Namun, di balik apresiasi itu, Bunda Roostiningsih mengaku prihatin dengan masih adanya ketimpangan perlakuan terhadap rumah ibadah non-muslim yang kerap mengalami kesulitan dalam memperoleh izin pendirian.
“Masih banyak rumah ibadah non-muslim yang bertahun-tahun tidak kunjung mendapatkan izin. Ada yang tersendat di jalur birokrasi, ada pula yang terhenti karena tekanan sosial. Ini menunjukkan bahwa praktik toleransi kita belum berjalan seimbang,” tuturnya.
Menurutnya, Indonesia sebagai negara yang berlandaskan Pancasila seharusnya menempatkan semua umat beragama pada posisi yang setara di mata hukum dan negara.
“Toleransi bukan hanya slogan di podium, tapi harus menjadi sikap hidup di lapangan. Pancasila tidak mengajarkan toleransi selektif—yang hangat untuk satu pihak tapi dingin untuk yang lain,” tegasnya.
Bunda Roostiningsih juga menilai bahwa ketidakseimbangan dalam penanganan isu keagamaan dapat menimbulkan dampak jangka panjang terhadap generasi muda.
“Jika pemerintah cepat dalam satu hal tapi lambat dalam hal lain, anak-anak kita bisa belajar hal yang keliru: bahwa keadilan bisa dipilih-pilih, bahwa toleransi bisa ditawar. Padahal dari situlah retak kebangsaan bisa muncul,” tambahnya.
Ia menegaskan bahwa Indonesia tidak akan runtuh karena perbedaan agama, tetapi bisa terancam jika nilai keadilan dan toleransi hanya menjadi formalitas.
“Negara ini kuat karena perbedaan, tapi bisa rapuh jika keadilan dan empati hanya berhenti di ucapan. Pemerintah harus hadir untuk semua, bukan hanya untuk mayoritas,” pungkasnya.






