LUMAJANG, Selasa (8/5/2018) suaraindonesia-news.com – KontraS nilai, bukan lahan Reforma Agraria (RA), Kepala Desa (Kades) Pandanwangi, Kecamatan Tempeh, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, patoki lahan warga petani Pandanwangi.
Menurut Koordinator Badan Pekerja KontraS Surabaya, Fatkhul Khoir, kepada media mengatakan jika sejauh ini, pihaknya melakukan pendampingan kepada masyarakat petani Desa Pandanwangi, yang lahannya dipatoki Kades Pandanwangi beberapa hari yang lalu.
“Pihak kita ya melakukan pendampingan pada seputar penguatan masyarakat dulu,” kata Khoir saat diminta keterangan oleh media tadi siang.
Padahal, dari keterangan sejarah, kata Khoir, pembukaan lahan tersebut diketahui Kepala Desa Pandanwangi, pak Jasir. Dan hal itu, mendapat dukungannya, karena untuk menjalankan amanat konstitusi, sesuai pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang berbunyi : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
“Pembukaan lahan pertanian tersebut dikelola secara turun temurun dengan terutama tanaman padi dan jagung. Itu dilakukan petani pada tahun 1948, setelah kemerdekaan. Warga petani membuka tanah rawa, atau ‘babat alas’
untuk keperluan pertanian dan kehidupan masyarakat. Warga menuturkan saat membuka tanah rawa harus menghadapi binatang-binatang berbahaya/buas, seperti ular, buaya rawa, dan lain sebagainya,” jelasnya.
Dan pada tahun 1969, berdasarkan penuturan Ketua Komunikasi Petani Pantai Selatan (KOPPAS) Kabupaten Lumajang, Sapari menjelaskan jika tanah-tanah yang sudah produktif tersebut mendapat Pipil P.2.
Sebagai bukti bayar pajak tanah, kata Sapari, warga meyakini bahwa syarat untuk mendapatkan hak tersebut adalah membayar kewajiban pajaknya.
“Awalnya, surat-surat (petok D, pipil) diminta oleh pamong desa Pandanwangi yang waktu itu dijabat pak Sulihan dan pak Senam. Surat itu diambil satu persatu di masing-masing rumah warga petani dengan alasan untuk penyertipikatan. Tapi tidak jelas
untuk siapa dan keperluan sertipikat apa,” paparnya lagi.
Waktu itu, kata Sapari, warga petani mengikuti rencana desa karena dianggap tujuannya baik untuk penyertipikatan.
“Namun, hal ini diketahui belakangan, bahwa Pemerintah Desa yang saat itu
Kepala Desa dijabat oleh Sutadji, dipaksa oleh pihak militer, khususnya dari KODAM V/Brawijaya melalui KODIM yang menugaskan Kapten Sapra’i serta Babinsa yang bernama Rosadi dan Gopar.
“Pemaksaan ini dibenarkan keterangan atau pernyataan mantan Kepala Desa Pak Sutadji. Sebelumnya pernah terdengar kabar di tengah masyarakat, Pak Sariani, yang tetap berupaya mempertahankan hak tanah dan pengelolaan pengairan (atau istilah lokal, tuwowo, kelompok tani untuk pengairan sawah), dibunuh dengan tuduhan PKI. Tentu, masyarakat tidak ingin dibunuh karena ancaman tersebut,” bebernya.
Yang aneh, pada awal Februari 2018 lalu, telah terjadi pematokan-pematokan misterius dengan menggunakan bambu dengan cat merah di lokasi warga yang digarap warga petani.
“Pematokan ini, jelas memancing kisruh dan sangat kuat mengganggu keamanan warga desa,” ujar Sapari.
Kemudian Kades Pandanwangi, Edi Santoso, melalui surat tertanggal
3 Februari 2018 mengundang warga petani Koppas pada 17 Februari 2018,
dalam acara “Sosialisasi dan Pendataan Ahli Waris dari Pelaku Sejarah Babat Alas Tanah Rowo, yang berada di Dusun Pemukiman Desa Pandanwangi”.
“Sekalipun surat tertanggal 3 Februari, namun surat undangan tersebut baru
diterima warga petani sehari sebelumnya, pada Jumat (16/2) lalu. Sehingga undangan tersebut mendadak dan tidak patut dalam
penyelenggaraan administrasi pemerintahan,” tambahnya.
Di lokasi tanah yang sedang digarap, ditegaskan Sapari, kini dipasang patok-patok dengan menggunakan cor, yang dilakukan sepihak oleh Kades Edi Santoso, Babinsa Slamet, Pamong Desa Pandanwangi Asnawi dan Nipan.
Sementara itu, menurut Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, Abdul Wahid Habibullah, SH mengatakan jika tindakan pemasangan patok ini merupakan aksi sepihak yang tidak pernah jelas apa tujuannya, kepentingan apa, dan dasar hukumnya.
“Ini menunjukkan penyalahgunaan kekuasaan atau kesewenang-wenangan, dan tidak pantas atau patut dilakukan oleh aparat pemerintahan
Desa,” ungkapnya.
Ditegaskan Wahid, jika kronologis kejadian ini telah disusun berdasarkan keterangan saksi sejarah dan organisasi Koppas (Komunikasi Petani Pantai Selatan) Lumajang, dengan dibantu Pusat Studi Hukum HAM, Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Surabaya), guna mengungkap kejadian sebagaimana mestinya.
Reporter : Achmad Fuad Afdlol
Editor : Agira
Publisher : Imam













