Antara Kebebasan Pers dan Tanggung Jawab Media — Pelajaran dari Kasus Trans7 - Suara Indonesia
Example floating
Example floating
ArtikelOpini

Antara Kebebasan Pers dan Tanggung Jawab Media — Pelajaran dari Kasus Trans7

×

Antara Kebebasan Pers dan Tanggung Jawab Media — Pelajaran dari Kasus Trans7

Sebarkan artikel ini
IMG 20251018 115919
Foto: Zaini Amin, CEO suaraindonesia-news.com

Penulis: Zaini Amin, CEO suaraindonesia-news.com

Kebebasan pers vs tanggung jawab sosial

Media massa, termasuk televisi, memiliki peran vital dalam masyarakat: menyampaikan informasi, mengedukasi, dan menjadi kontrol sosial. Namun, kebebasan pers tidak berarti bebas dari konsekuensi etika. Tayangan Trans7 pada 13 Oktober 2025 yang menampilkan narasi serta visual terkait kehidupan santri dan kiai di Ponpes Lirboyo yang kemudian dituduh melecehkan menunjukkan bahwa media harus berhati-hati ketika mengangkat isu sensitif seperti agama dan lembaga keagamaan.

Narasi seperti “Santrinya minum susu aja kudu jongkok, emang gini kehidupan pondok?” dianggap banyak pihak sebagai bentuk framing negatif yang bisa menimbulkan stigma terhadap pesantren secara umum.

Kehidupan pesantren adalah konteks budaya yang kompleks

Pesantren di Indonesia bukan hanya institusi pendidikan—mereka merupakan bagian dari warisan budaya, sosial, dan keagamaan. Tradisi seperti menyambut atau menghormati kiai dengan cara tertentu (contoh: berjalan menunduk, mencium tangan) seringkali dianggap sebagai penghormatan dalam konteks pesantren, bukan penghinaan. Kritik terhadap tayangan tersebut menyoroti bahwa media kurang memahami konteks ini dan memilih narasi sensasional daripada pemahaman.

Baca Juga :  Jangan “Mengelus Dada” untuk DKJ

Media yang mengangkat kehidupan pesantren perlu melakukan riset mendalam, wawancara, dan penyajian dua sisi (both sides) agar tidak menimbulkan kesalahpahaman atau merendahkan martabat lembaga keagamaan.

Potensi kerusakan sosial dan citra lembaga keagamaan

Tayangan yang dianggap melecehkan pesantren dan kiai menuai protes luas: tagar #BoikotTrans7 viral, laporan ke KPID dan Dewan Pers, hingga tuntutan dari PBNU dan alumni pesantren.

Hal ini menunjukkan bahwa media dapat memicu konflik sosial jika tidak menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab. Kehidupan pesantren yang rumit—antara tradisi, edukasi, kemiskinan, perubahan sosial—tidak bisa diwakilkan oleh satu segmen yang dipotong dari konteks.

Panggilan untuk reformasi jurnalistik

Kasus ini menjadi panggilan agar media memperkuat etika jurnalistik:

  • Verifikasi: pastikan fakta, bukti visual, wawancara dengan pihak terkait (pesantren, santri, alumni) agar narasi tidak sepihak.
  • Konteks: sajikan latar belakang budaya pesantren—apa makna tradisi, struktur sosial, tantangannya.
  • Sensitivitas: lembaga keagamaan memiliki nilai-nilai yang sangat dihormati; penghormatan terhadap nilai tersebut harus jadi bagian dari pertimbangan.
  • Tanggung jawab sosial: media bukan sekadar mencari rating atau viral, tetapi memperkuat harmoni sosial, bukan sebaliknya.
Baca Juga :  BUMDES Putra Jaya Banyumas Miliki 3 Unit Bidang Usaha dan Agen Sembako

Peluang bagi pesantren untuk tampil lebih positif

Meski tayangan tersebut menuai kritik, ini juga menjadi kesempatan bagi pesantren untuk lebih terbuka, memberikan akses ke media, menjelaskan tradisi, dan mempromosikan sisi edukatif serta kemasyarakatan mereka. Pesantren bisa menunjukkan bahwa mereka bukan hanya lembaga keagamaan tertutup, tetapi institusi yang relevan dalam pendidikan karakter bangsa.

✍️ Kesimpulan

Kasus Trans7 dan Ponpes Lirboyo menjadi pelajaran bahwa kebebasan pers harus berjalan seiring tanggung jawab etika. Mengangkat lembaga keagamaan sebagai tema utama memerlukan kehati-hatian ekstra—baik dari sisi media maupun dari masyarakat sendiri yang mengonsumsi tayangan tersebut.

Media harus memperkuat kredibilitas dengan menghadirkan fakta, konteks, dan kepekaan budaya agar tidak sekadar mengejar sensasi yang bisa memecah persatuan umat.