JEMBER, Kamis (30/8/2018) suaraindonesia-news.com – Seorang ibu rumah tangga, Mariana Oktavia nimbrung dalam pembahasan urgensi pengurusan merek bagi pelaku usaha rumahan. Diskusi kecil yang berlangsung di Perpustakaan Universitas Jember tersebut telah memasuki hari kedua, Rabu (29/8/2018) dan kali ini topik utamanya terpusat pada pertanyaan “haruskah mengurusi merek ? toh produkku sudah bisa laku.” Itulah pertanyaan salah seorang peserta diskusi yang kemudian dibahas bersama antar sesama anggota Jember Kofiesta dan didampingi oleh Arief Institute of Law (AIL).
Ana, sapaan akrab Mariana Oktavia menceritakan kepada para peserta diskusi bahwa dirinya sempat kecewa karena tidak mengurusi merek sejak awal memulai usaha. Ana mempunyai produk sari kedelai yang dinamai “Mama Uti” dan telah berjalan selama 10 tahun terakhir.
“Ketika ada fasilitas gratis untuk mengurusi merek dari Disperindag, saya pun mengurusi ijin untuk produk sari kedelai yang saya beri nama “Mama Uti” dan telah berjalan dan banyak langganan. Lalu petugasnya bilang bahwa nama tersebut (Mama Uti, red) ternyata sudah tidak boleh karena nama tersebut sudah dipakai orang lain dengan kelas yang sama. Ya sudah mumpung masih awal, walaupun sudah 10 tahun berjalan ya saya anggap masih awal karena omset belum terlalu banyak, ya langsung balik kanan dengan ganti merek dengan nama baru Ana Bunda dengan logo yang sama,” terang Ana.
Akibat perubahan merek tersebut, Ana pun harus berkali-kali menyosialisasikan kepada para pelanggannya bahwa telah berganti nama supaya tidak kehilangan pelanggan.
“Pengaruh banget mas, ya namanya produk kedelai itu bertahan sebentar, logonya sama hanya nama saja berubah, jadi kami harus berkali-kali menyosialisasikan ke pelanggan supaya tidak diasumsikan produk ini kw dari merek yang sebelumnya,” imbuhnya.
Istono Asrijanto dari Jember Kofiesta menjelaskan bahwa pengurusan sebuah merek bagi produk merupakan hal dasar untuk menjamin kepastian hukum ke depannya. Namun hal itu dibenturkan pada berbagai persoalan bagi para pelaku usaha mikro di bidang kopi khas Jember yang dinaungi oleh Jember Kofiesta.
“Kendalanya bagi pengusaha mikro, yang pertama mengenai kapital modal, lalu kapasitas produksi, banyak juga lainnya. Pengusaha mikro berciri khas semua diurusi sendiri karena memang modal sedikit,” kata Istono.
Jember Kofiesta sendiri mempunyai misi mempopulerkan kopi khas Jember, saat ini sudah memiliki 70 orang anggota yang membidangi kopi khas Jember mulai dari hulu hingga hilir. Istono menyebutkan bahwa berbagai produk olahan kopi yang dihasilkan oleh Jember Kofiesta mempunyai berbagai ciri khas dari setiap prosesor meski jenis kopinya sama.
“Di situlah keresahannya, kreatifitas teman-teman sehingga menghasilkan ciri khas tersendiri meski jenis kopinya sama, lalu di kemudian hari ada produk yang sama telah didaftarkan mereknya dengan sekian ciri khasnya, di situlah bisnis bisa terancam gulung tikar,” tambahnya.
Humas AIL, Galuh Puspaningrum mengapresiasi diskusi kali ini yang sudah mulai menumbuhkan kesadaran mengenai pentingnya sebuah merek. “Dari cerita salah satu peserta diskusi yang mempunyai produk sari kedelai Mama Uti itu. Dari contoh itu akhirnya terfikirkan ke sana,” jelas Galuh.
Galuh menyampaikan berbagai keberatan dari para peserta diskusi seperti diutarakan Istono, juga masih belum banyak tercerahkan mengenai merek itu sendiri.
“Akhirnya kami memutuskan untuk membuat forum diskusi lanjutan dalam grup whatsapp nantinya,” pungkasnya.
Reporter : Guntur Rahmatullah
Editor : Amin
Publisher : Imam