Penulis: M. Irfan Kurniawan
Pengusaha dan Pemerhati lingkungan.
Sebenarnya, kita ini generasi yang rajin bikin catatan harian. Tapi bukan lagi di buku diary Hello Kitty bergembok. Catatan kita sekarang bentuknya story Instagram, status Facebook, video dan caption panjang di TikTok, hingga Status Whatsapp. Dan seringnya catatan itu penuh warna pastel, filter cantik, dan senyum paling manis.
Di situlah sayangnya. Sebagian besar catatan itu hanya pameran sisi terang. Kita pajang salad dan makanan sehat, tapi habis itu kita lahap gorengan sembilan biji. Kita upload kopi estetik puluhan ribu, padahal kita lebih sering nyeduh kopi sachet duaribuan perak. Kita unggah foto liburan ke Bali, ke pantai, padahal utang pinjol masih nangkring di notifikasi SMS dan sering puyeng ketika urusan sekolah anak, arisan, hingga undangan kondangan datang. Bisa dibilang; semua itu palsu. Imitasi. KW. Tapi, “its oke.” Wajar. Manusiawi.
Tapi tahu gak? ada satu diary harian dan catatan yang tak bisa dipalsukan. Tak bisa difilter dan tak bisa diedit. Selalu jujur, selalu konsisten. Namanya: tong sampah.
Tong sampah adalah jurnalis dan Notulen paling teliti di rumah kita. Ia menulis headline setiap hari dengan judul-judul sederhana: “Sisa Mie Instan Jam 2 Malam,” “Drama Air Mata Tisu Bekas,” atau “Promo Diskon 11.11 Berhasil Lagi Menjebakmu.” Tak ada sensor. Tak ada “clickbait.” Semuanya apa adanya.
Melihat catatan dan diary harian itu, Sapardi Djoko Damono mungkin akan bilang: “Sampah adalah puisi yang ditulis tanpa kata. Ia hanya meninggalkan bekas dan sentuhan bau, noda, plastik yang tak bisa dibaca dengan mata, tapi dirasakan oleh bumi.”
Sementara Bang Mahboeb Djoenaedi mungkin nyeletuk: “Lihat isi tong sampahmu. Kalau isinya lebih banyak bungkus mie instan daripada sayuran, jangan salahkan kalau perutmu lebih mirip gudang pengawet ketimbang taman bunga.”
Dan Goenawan Mohammad mungkin menambahkan dengan tenang: “Sampah adalah arsip. Ia menyimpan jejak waktu. Ia tidak hanya tentang apa yang kau buang, tapi juga tentang siapa dirimu pada hari itu.”
Kalau kita berani membuka kantong sampah di rumah, kita akan melihat diri kita sendiri tanpa topeng. Diri yang asli. Yang jujur. Yang apa adanya.
Kita bisa lihat plastik kopi instan yang jadi tanda insomnia, begadang, dan kebanyakan sebagai teman saat merokok. Kita bisa lihat kardus dan plastik bungkus paket belanja online yang jadi bukti kita kalah melawan iklan. Kita bisa lihat tisu penuh noda entah karena sambal level sembilan puluh sembilan atau karena air mata luka.
Semua itu adalah baris-baris catatan dan diary harian yang kita tulis dengan tangan, lalu kita buang tanpa sempat kita baca ulang.
Ironisnya, catatan paling jujur itu justru kita sebut kotoran. Kita sembunyikan di pojok dapur. Kita ikat rapat, seolah-olah sedang menyembunyikan aib. Padahal, di situlah wajah kita yang paling terang dan telanjang.
Bayangkan kalau suatu hari rumah kita hilang ditelan waktu. Yang tersisa hanyalah arsip sampah kita. Mungkin seratus tahun lagi, cicit kita menemukan bungkus plastik mie instan dan berkata: “Wah, ternyata nenek moyang kita hobi begadang!” “Ternyata orang tua gue jarang masak karena lebih suka makan mie instan.”
Betapa memalukan kalau warisan budaya kita bukan manuskrip kuno dan catatan pemikiran cemerlang, melainkan plastik kresek Indomie rasa rendang.
Selain itu, sampah tak sekadar menyimpan kenangan. Ia pun menagih pertanggungjawaban. Media sosial bisa kita hapus. Postingan memalukan bisa kita simpan di “archive.” Tapi sampah? Tak ada tombol delete. Ia tetap eksis, bahkan lebih setia daripada pasangan yang bilang akan selalu ada.
Dan di titik ini, sampah bukan lagi soal lingkungan. Ia adalah soal akhlak. Akhlak kita pada diri sendiri. Soal spiritual, karena orang yang hidupnya benar-benar sadar; tak akan tega menyakiti tanah yang memberinya makan atau air yang memberinya minum. Serta akan berusaha memperlakukan wajah, diri, dan kelakuan sendiri dengan sebaik-baiknya. Bukankah mereka yang tahu dan sadar kalau dirinya kurang baik, akan mengubahnya menjadi lebih baik? Begitu pun dengan sampah sendiri, mestinya diperlakukan dengan baik pula.
Sampah itu, kalau mau jujur, sering lebih lantang dan lebih benar daripada ceramah, apalagi pidato politik. Ia bicara jujur lewat bau busuknya, lewat selokan yang mampet, lewat sungai yang menghitam.
Mungkin Ia akan berkata: “Hei, jangan pura-pura alim di medsos, kalau setiap hari kau buang plastik seenaknya ke tanah yang sama-sama kau pijak.”
Pertanyaannya sederhana: sudahkah kita berani dan jujur membaca catatan dan diary harian kita sendiri? Sudahkah kita siap bercermin pada tong sampah di dapur atau di samping rumah kita? Atau jangan-jangan, kita lebih takut membuka isi kantong sampah daripada membuka riwayat chat WA kita di ponsel?
Pada akhirnya, sampah itu bukan sekadar sesuatu yang kita buang. Ia adalah catatan, saksi, sekaligus doa terbalik. Doa yang akan kembali pada kita dalam bentuk bau, banjir, atau bahkan kutukan yang diwariskan ke anak cucu. Dan semua itu, sebetulnya, adalah tulisan tangan kita sendiri yang tak bisa kita sangkal, bukan?













