๐—•๐˜‚ ๐——๐—ถ๐—ป๐—ถ ๐—™๐—ถ๐˜๐—ฟ๐—ถ๐—ฎ ๐—•๐˜‚๐—ธ๐—ฎ๐—ป ๐—ฃ๐—ฒ๐—ป๐—ท๐—ฎ๐—ต๐—ฎ๐˜ - Suara Indonesia
Example floating
Example floating
Opini

๐—•๐˜‚ ๐——๐—ถ๐—ป๐—ถ ๐—™๐—ถ๐˜๐—ฟ๐—ถ๐—ฎ ๐—•๐˜‚๐—ธ๐—ฎ๐—ป ๐—ฃ๐—ฒ๐—ป๐—ท๐—ฎ๐—ต๐—ฎ๐˜

×

๐—•๐˜‚ ๐——๐—ถ๐—ป๐—ถ ๐—™๐—ถ๐˜๐—ฟ๐—ถ๐—ฎ ๐—•๐˜‚๐—ธ๐—ฎ๐—ป ๐—ฃ๐—ฒ๐—ป๐—ท๐—ฎ๐—ต๐—ฎ๐˜

Sebarkan artikel ini

Refleksi atas Krisis Kepemimpinan Moral dalam Dunia Pendidikan

IMG 20251015 090743
Foto : Inong Mayank Seulodang (Mahasiswi Jurusan Agroteknologi di Fakultas Pertanian UNSAM Langsa.)

Oleh : Inong Mayank Seulodang
(Mahasiswi Jurusan Agroteknologi di Fakultas Pertanian UNSAM Langsa.)

LANGSA, Rabu (15/10) suaraindonesia-news.com – Kasus yang menimpa Bu Dini Fitria, seorang pendidik berdedikasi, telah mengguncang nurani banyak orang. Ia bukanlah pelaku kekerasan sebagaimana digambarkan sebagian pihak, melainkan sosok guru yang sedang berjuang menegakkan disiplin dan moral di ruang kelas – sebuah tugas berat di tengah zaman yang serba permisif dan mudah menyalahkan pendidik.

Tindakan Gubernur yang tergesa-gesa mencopot dan menghakimi Bu Dini tanpa menyelami konteks pedagogis dan moral di balik peristiwa tersebut memperlihatkan gejala yang lebih dalam: krisis kepemimpinan moral dalam sistem pendidikan kita. Dunia pendidikan seolah kehilangan arah, ketika citra politik dan opini publik lebih diprioritaskan daripada prinsip keadilan dan tanggung jawab etis.

Dalam konteks pendidikan, guru bukan hanya penyampai pengetahuan, tetapi juga pembentuk karakter dan penjaga nilai moral. Seorang guru sejati hidup di tengah dilema: bagaimana mendisiplinkan tanpa dianggap keras, bagaimana membimbing dengan tegas tanpa dituduh represif. Dalam dilema itulah, keteguhan hati seorang pendidik diuji. Bu Dini bukan sedang menghukum, ia sedang mendidik; bukan menindas, tetapi menyelamatkan akhlak generasi muda dari degradasi moral.

Fenomena ini menunjukkan betapa mudahnya otoritas guru diruntuhkan oleh tekanan politik dan persepsi publik. Ketika kebijakan pemerintah berpihak pada pelanggar disiplin dan bukan pada pendidik yang menegakkan nilai, maka bangsa ini sedang menyiapkan masa depan yang suram: generasi yang pandai berdebat tetapi kehilangan rasa hormat.

Baca Juga :  'Bekunci' Cara Warga Jermun OKI Lockdown dari Pandemi

Sikap Gubernur dalam kasus ini patut dikritisi secara akademik dan etis. Dalam teori etika publik, seorang pemimpin seharusnya memiliki moral intelligence – kemampuan menilai secara adil dan proporsional sebelum mengambil keputusan. Pemimpin bukan sekadar penguasa administrasi, tetapi penjaga moralitas sosial. Keputusan yang terburu-buru tanpa dialog dengan pendidik dan saksi profesional justru mencederai prinsip dasar pendidikan, yaitu mendidik dengan keadilan dan empati.

Kita perlu mengingat kembali bahwa disiplin bukan bentuk kekerasan. Ia adalah ekspresi kasih sayang dalam bentuk yang keras, tapi mendewasakan. Guru yang menegakkan disiplin dengan niat mendidik seharusnya dilindungi, bukan dikorbankan demi kepentingan citra birokrasi.

Dalam konteks sosial, tindakan semena-mena terhadap guru memiliki efek domino yang berbahaya. Guru akan kehilangan keberanian untuk mendidik dengan ketegasan, dan siswa akan kehilangan batas moral yang jelas. Akibatnya, pendidikan berubah menjadi panggung toleransi terhadap perilaku salah โ€” bukan proses pembentukan manusia beradab.

Kasus Bu Dini Fitria harus menjadi momentum refleksi nasional. Kita tidak sedang berbicara tentang satu guru, melainkan tentang marwah seluruh profesi pendidik di Indonesia. Jika negara tidak berpihak pada kebenaran moral dan pedagogis, siapa lagi yang akan melindungi guru ketika mereka menjalankan amanah pendidikan?

Baca Juga :  Ombak, Relativitas Pemahaman dan Taqlid Buta

Oleh karena itu, ada tiga hal penting yang patut ditegaskan. Pertama, pemerintah daerah dan Gubernur perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap keputusan yang diambil, melibatkan pakar pendidikan dan psikologi untuk memastikan keadilan substansial. Kedua, organisasi profesi guru dan akademisi harus bersatu dalam membela marwah pendidik, karena pendidikan tidak boleh tunduk pada tekanan opini. Ketiga, masyarakat dan media perlu belajar melihat peristiwa pendidikan dengan kedalaman moral, bukan sekadar sensasi.

Mendidik bukanlah memanjakan. Tugas guru bukan membuat anak nyaman, tetapi menjadikannya manusia yang berkarakter. Dalam ruang kelas, seorang guru menanam benih peradaban. Bila benih itu dirusak oleh kebijakan yang gegabah, maka hancurlah akar pendidikan bangsa.

Bu Dini Fitria adalah simbol perjuangan moral di tengah kemerosotan nilai. Ia bukan pelaku, melainkan korban dari sistem yang tidak adil. Maka, membela beliau berarti membela martabat pendidikan nasional. Kita tidak boleh membiarkan guru yang jujur dan tulus dikorbankan oleh politik citra dan ketidakadilan kebijakan.

โœ… Ayo viralkan suara keadilan untuk Bu Dini Fitria!
Karena perjuangan ini bukan hanya untuk seorang guru, tetapi untuk menjaga nurani bangsa agar tetap berpihak pada kebenaran.